SinarPost.com – Prancis dan Rusia mendesak Iran untuk menahan diri setelah mulai memproduksi logam uranium dalam pelanggaran batas baru yang ditetapkan dalam kesepakatan nuklir Iran 2015 dengan kekuatan dunia. Logam uranium adalah bagian komponen dalam senjata nuklir.
Peringatan itu muncul setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang berbasis di Wina mengatakan telah memverifikasi produksi 3,6 gram logam uranium di sebuah pabrik di Iran.
“Untuk melestarikan ruang politik dalam menemukan solusi yang dinegosiasikan, kami menyerukan kepada Iran untuk tidak mengambil langkah-langkah baru yang akan semakin memperburuk situasi (perjanjian) nuklir, yang sudah sangat mengkhawatirkan akibat penumpukan pelanggaran Perjanjian Wina, termasuk yang terbaru dilaporkan oleh IAEA,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Agnes von der Muhll pada hari Kamis.
Sebelumnya, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov juga telah mendesak Teheran untuk menahan diri. “Kami memahami logika tindakan mereka dan alasan yang mendorong Iran. Meskipun demikian, perlu menunjukkan pengendalian diri dan pendekatan yang bertanggung jawab,” katanya kepada kantor berita negara RIA Novosti.
IAEA mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu bahwa Direktur Jenderal Rafael Mariano Grossi menginformasikan negara-negara anggotanya “tentang perkembangan terbaru mengenai kegiatan R&D Iran pada produksi logam uranium sebagai bagian dari tujuan yang dinyatakan untuk memproduksi bahan bakar untuk Teheran Research Reactor”.
Laporan IAEA, sebagaimana diberitakan kantor berita Reuters mengatakan bahwa Iran berencana untuk melakukan penelitian tentang logam uranium menggunakan uranium alami sebelum beralih ke logam uranium yang diperkaya hingga 20 persen.
“Badan (IAEA) pada 8 Februari memverifikasi 3,6 gram logam uranium di Pabrik Pembuatan Plat Bahan Bakar Iran (FPFP) di Esfahan,” kata pernyataan IAEA.
Kesepakatan nuklir Iran – dicapai pada 2015 antara Iran dengan Amerika Serikat, China, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris – dimana dalam perjanjian itu berisi larangan 15 tahun bagi Iran untuk memproduksi atau memperoleh logam uranium yang dapat digunakan sebagai komponen dalam senjata nuklir.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov mengatakan langkah Iran menunjukkan “tekad Teheran untuk tidak tahan dengan situasi saat ini” setelah memperingatkan bahwa waktu hampir habis bagi pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk menyelamatkan perjanjian.
Pada 2018, Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran dan menerapkan kembali sanksi ekonomi yang melumpuhkan Teheran.
Pengganti Trump, Presiden Joe Biden, berusaha untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut, tetapi kedua belah pihak tampaknya memiliki kebuntuan mengenai siapa yang bertindak lebih dulu.
Presiden Iran Hassan Rouhani pada Kamis mengatakan dia kecewa dengan Biden sejauh ini, karena kurangnya kemajuan terkait kebijakan nuklir dan sanksi AS. “Kami masih belum melihat niat baik dari pemerintah AS baru,” kata Rouhani kepada televisi pemerintah.
Dia meminta Biden untuk segera membalikkan kebijakan tekanan maksimum yang diterapkan oleh Trump dan mengakhiri sanksi ekonomi “kriminal” terhadap Iran.
Rouhani telah mengindikasikan beberapa kali bahwa dia ingin menghindari eskalasi lebih lanjut tentang masalah ini tetapi juga melawan jatuhnya ekonomi Iran, yang dilumpuhkan oleh rezim sanksi AS.
Iran telah memberi AS waktu hingga 21 Februari untuk mencabut sanksi, bila tidak Teheran mengatakan akan menggunakan cara lain untuk melawan sanksi sepihak AS semisal membatasi inspeksi IAEA ke fasilitas nuklir.
Sumber : Al Jazeera