Oleh : Maisarah*
Provinsi tepi barat ujung Sumatera, Aceh, yang dikenal dengan penerapan syariat Islam memiliki kekayaan alam begitu melimpah. Namun kekayaan alam tersebut belum mampu menyumbang kontribusi yang bernilai untuk melepaskan Aceh dari gelar provinsi miskin di Indonesia. Sangat disayangkan hasil bumi yang banyak, tanah yang subur, hutan yang luas, dan perairan yang menyimpan berjuta keragaman hayati, tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk mensejahterakan masyarakat.
Betapa memprihatinkan beragam potensi ini tidak dapat menyeimbangi kondisi masyarakat Aceh yang hari ini masih memiliki banyak permasalahan seperti angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang lambat, dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan sumber daya manusia dalam mengelolanya. Seperti yang terlihat, masyarakat Aceh kurangnya akses pendidikan dan lapangan pekerjaan. Jikapun ada sangat terbatas sehingga banyak lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran terpelajar dikarenakan tidak memiliki keterampilan yang cukup baik, serta tidak mampu dalam bersaing.
Berdasarkan update terakhir data BPS, persentase tingkat pengangguran terbuka Provinsi Aceh masih mencapai 5,97 persen, telah mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6,30 persen. Akan tetapi, tentunya angka ini bukanlah jumlah yang sedikit walaupun telah mengalami penurunan. Tingginya angka pengangguran ini berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan akan tergolong sebagai masyarakat miskin, karena tentu saja mereka tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hari ini, Aceh merupakan salah satu provinsi miskin di Indonesia dan menempati urutan pertama termiskin di Sumatera. Berdasarkan update data BPS publikasi periode September 2021-Maret 2022 persentase penduduk miskin di Aceh mencapai 14,64 persen, menurun 0,89 persen dari periode sebelumnya yang mencapai 15,53 persen. Kemiskinan ini merupakan masalah yang sangat serius, dikarenakan kemiskinan dapat dikatakan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, serta kesehatan dan pendidikan.
Jika ditinjau dari jenisnya, kemiskinan dapat berupa kemiskinan absolut, orang miskin jenis ini tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Kemudian ada kemiskinan relatif yang disebabkan oleh tidak semua masyarakat terjangkau oleh kebijakan pembangunan. Selain itu juga ada kemiskinan kultural, kemiskinan tipe inilah yang sangat menjadi beban bagi aktor publik, dimana miskin sudah menjadi budaya, masyarakat malas dan tidak ada usaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan.
Aceh dikenal negeri sejuta warung kopi, jika dilihat dari jenis kemiskinan mungkin saja dapat dikatakan kemiskinan dengan tipe kultural dikarenakan sebagian masyarakatnya banyak menghabiskan waktu produktif di warung kopi. Budaya ini meliputi berbagai kalangan baik tua ataupun muda. Bahkan tidak sedikit anak muda Aceh lebih memilih menghabiskan waktu di warung kopi untuk berkumpul dan bermain game yang merusak masa depannya seperti mobile legends, PUBG, domino lands, dan sebagainya. Perilaku ini menjadi kekhawatiran karena generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus estafet dalam pembangunan Aceh yang lebih baik justru tidak memanfaatkan waktu dengan baik, seperti mengikuti kegiatan-kegiatan pengembangan diri agar memiliki pengetahuan dan keterampilan supaya tidak tereliminasi dalam persaingan global yang semakin hari semakin sulit.
Pentingnya Keberadaan Industri
Dengan kodisi SDM yang banyak menghabiskan waktunya di warung kopi, lantas apakah Aceh akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinan yang telah lama membelenggu daerah berjuluk Serambi Mekkah ini?. Menjadi tugas besar bagi pemerintah maupun masyarakat Aceh agar dapat melakukan perubahan sebagai jawaban terbaiknya. Dengan optimisme dan semangat gotong royong, kerja sama seluruh elemen baik pemerintah, swasta, dan masyarakat pada umumnya akan mempercepat pembagunan suatu daerah. Setiap pembangunan dikehendaki untuk menuju ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu pentingnya suatu perencanaan, agar pembangunan yang dilakukan merupakan pembangunan strategis dan pembangunan yang berkelanjutan atau pembangunan yang berorientasi pada masa depan.
Pada kapasitas ini tentu saja SDM yang terampil menjadi elemen dasar dalam memajukan Aceh, termasuk kemandirian dalam mengelola SDA Aceh yang berlimpah, bukan hanya sekedar ekspor bahan baku atau barang setengah jadi kemudian sebaliknya kita menerima pasokan dari luar dalam bentuk produk yang sudah jadi yang memiliki nilai tambah.
Oleh dasar itulah, Aceh sangat membutuhkan industri. Industri akan membawa pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan berdirinya industri hasil bumi dapat dimanfaatkan dengan baik dan kebutuhan masyarakat dapat diperoleh dengan harga yang lebih terjangkau, serta akan tersedia lapangan pekerjaan untuk masyarakat sehingga pengangguran dapat diperkerjakan. Dengan peluang dari terbukanya industri ini, diharapkan dapat dengan signifikan menurunkan persentase angka pengangguran di Provinsi Aceh.
Pemerintah Aceh dapat mengupayakan berbagai cara untuk mendorong pertumbuhan industri ini, seperti pembinaan maksimal terhadap UMKM agar dapat berkembang dari yang sebelumnya skala usaha rumahan hingga menjadi industri pengolahan yang lebih besar. Pemerintah juga dapat membuat BUMD pengelolaan hasil bumi seperti pada sektor pertanian dan perkebunan. Selama ini petani kita hanya dapat memasarkan hasil panen mereka seperti padi, tebu, cengkeh, pala, pinang, sawit, dan lain sebagainya dengan harga yang sangat murah dan kemudian kembali membeli minyak, gula, tepung, dan kebutuhan pokok lainya dengan harga yang relatif tinggi.
Dengan adanya BUMD tersebut, hasil panen petani dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Aceh tanpa harus melakukan impor atau menerima pasokan dari daerah lain. Bahkan pengelolaan dan kerjasama yang baik akan dapat memperoleh hasil panen yang banyak dan berkualitas sehingga selain mampu menciptakan kemandirian lokal juga bisa di ekspor ke luar daerah dan manca negara.
Selain pada sektor pertanian dan perkebunan, sektor kelautan dan perikanan pun diharapkan ada industri yang dapat mengelolanya dengan baik. Hasil laut Aceh sangatlah banyak, bila ikan, udang, gurita, lobster dan berbagai hewan laut lainnya dapat dikelola dengan industri tepat guna, hasil tangkapan nelayan selain dijual kepada masyarakat pada umumnya dapat juga dikelola oleh industri ini dan dipasarkan dalam bentuk produk yang telah memiliki brand, kemasan, dan tersertifikasi. Pada kapasitas ini tentunya harga jual akan lebih tinggi dan dapat di ekspor ke mancanegara sehingga para nelayan dapat sejahtera.
Kemudian pada sektor pertambangan dan migas. Sebelumnya di Aceh sudah pernah berdirinya industri pertambangan dan migas yang cukup besar dan menyumbang cuan yang tidak sedikit, namun sayangnya hal ini tidak membawa pengaruh yang besar terhadap kesejahteraan rakyat Aceh. Adanya industri ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik Aceh beberapa tahun silam.
Konflik menyimpan banyak tragedi, banyak korban berjatuhan, dan masyarakat hidup dalam ketakutan. Akan tetapi, bukan industri semacam itu yang kita inginkan, melainkan industri yang bisa menyumbang devisa bagi kepentingan rakyat Aceh dan meyelesaikan masalah kemiskinan di Aceh. Selain itu, yang harus menjadi pertimbangan adalah bagaimana caranya menghadirkan industri pertambangan yang ramah lingkungan, karena hal ini juga sangatlah penting mengingat dampak jangka panjang yang akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem bila terjadinya eksploitasi yang berlebihan.
Seiring dengan upaya menghadirkan industri, manajemen sumber daya manusia harus terus dibentuk untuk menghasilkan SDM yang berkualitas dan berkompetensi, serta memiliki daya saing yang tinggi. Human capital dapat ditingkatkan dengan pemerataan mutu pendidikan di seluruh kabupaten/kota, pemberdayaan, pelatihan dan bimbingan kerja, serta peningkatan kesehatan dan sebagainya. Namun menghadirkan sumber daya manusia yang berkualitas bukanlah semata-mata tugas pemerintah, melainkan masyarakat juga harus penuh kesadaran untuk dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Pemerintah bisa membuat berbagai peraturan dan kebijakan, namun tanpa dukungan dan rasa ingin berubah dari masyarakat, upaya pemerintah bisa berwujud hasil nihil.
Sejarah menjelaskan Aceh dimasa lalu pernah menjadi bangsa yang peradabannya dikenal oleh dunia. Oleh karenanya, mari bersama kembali kita wujudkan peradaban Aceh yang bermartabat dengan fokus pada peningkatan kualitas diri, guna dapat menghadapi perubahan zaman yang terus berkembang. Persaingan hari demi hari yang semakin sulit, ditambah dengan perjanjian antar negara yang membuka kesempatan tenaga kerja asing seluas-luasnya, maka hanya dengan sumber daya manusia terampil kita bisa mengelola sumber daya alam sendiri. SDA Aceh sangatlah banyak, jika bukan kita yang memanfaatkannya, siapa lagi?.
*Penulis merupakan Sarjana Ilmu Administrasi Negara FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: maisarahsalam@gmail.com.