SinarPost.com – Putaran pertama pembalasan Iran terhadap Amerika Serikat (AS) atas pembunuhan Komandan Al-Quds Jenderal Qassem Suleimani telah selesai, dengan merudal dua pangkalan militer AS di Irak. Teheran telah memberi sinyal jelas bahwa angkatan bersenjatannya siap meladeni setiap provokasi dari Washington.
Sesaat setelah pemakaman Jendera Qassem Suleimani, pasukan Iran dari Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) atas perintah Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei telah meluncurkan sekitar 22 rudal balistik dari wilayah Iran ke negara tetangganya, Irak, dengan target serangan dua pangkalan militer AS.
Pasca serangan tersebut, baik AS maupun Iran sama-sama menyatakan tidak ingin perang yang lebih besar. Presiden AS, Donald Trump dalam pidato resminya di Gedung Putih, Rabu (8/1/2020) malam WIB, terlihat melunak dalam menyikapi serangan balasan Iran terhadap dua pangkalan militernya di Irak. Trump tidak seperti biasanya yang kerap mengumbar ancaman perang terhadap Iran, namun kali ini benar-benar berbeda. Ia seperti kehilangan “semangat” dalam mengancam Iran.
Dalam pidatao kenegaraannya itu, Trump menarik ancamannya untuk menyerang Teheran lebih lanjut sebagai tanggapan atas serangan rudal Iran ke pangkalan militernya di Irak. Trump juga menggambarkan Teheran telah mundur, dan menurutnya, ini merupakan hal yang baik bagi semua pihak. Kendati demikian, dia tetap memperingatkan konsekuensi yang akan dirasakan negara para Mullah itu jika berkonflik dengan Amerika.
“Rudal kami besar, kuat, akurat, mematikan, dan cepat. Fakta bahwa kami memiliki militer dan peralatan hebat ini, tidak berarti kita harus menggunakannya,” kata Trump. Pun demikian, Trump berjanji akan menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Republik Islam Iran, di samping serentetan sanksi yang sudah diberlakukan AS setelah secara sepihak menarik diri dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran 2015 pada tahun 2018.
Sebelumnya, pasca merudal pangkalan militer AS, Republik Islam Iran memperingatkan ‘Setan Besar’ Amerika Serikat (AS) dan sekutunya akan serangan lebih dahsyat lagi jika Amerika cs kembali melakukan teror terhadap negaranya. “Jika AS dan sekutunya melancarkan serangan lagi ke Iran, mereka akan menerima tanggapan yang lebih menyakitkan dan menghancurkan,” bunyi pernyataan yang dikeluarkan Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) memperingatkan, seraya menegaskan bahwa ‘rezim Zionis’ Israel tidak akan selamat.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei juga memberi peringatan keras kepada AS. “Jika kalian memukul, kalian akan dipukul balik,” tegas Khamenei memperingatkan, sebagaimana dilansir CNN, Rabu (8/1/2020). Khamenei menegaskan balasan dari Teheran bisa berkali-kali lipat lebih sakit jika AS melakukan teror terhadap negaranya.
Seementara itu, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif secara diplomatis berkomentar di Twitter-nya. Ia berujar, Teheran sudah mengambil tindakan pertahanan diri “yang proporsional”. Zarif menerangkan, Iran bertindak sesuai Piagam PBB, di mana mereka merespons “serangan pengecut” yang menargetkan warganya. “Kami tidak menjadikan eskalasi yang berbuah perang. Tetapi, kami akan mempertahankan diri kami dari segala agresi,” tegasnya.
Sikap yang ditunjukkan kedua pemimpina negara (AS dan Iran), yang sama-sama mundur selangkah untuk menghindari perang dalam skala yang lebih besar, merupakan kabar gembira bagi masyarakat internasional, dunia merasa lega. Pasalnya terhindarnya perang terbukan antara Iran dan AS ini membuat dunia kembali stabil.
Pesan untuk Donald Trump
Telepas ada korban atau tidak, rudal Iran dengan akurasi yang sangat tinggi telah berhasil menghantam dua pangkalan militer AS di Irak. Ini menjadi pesan nyata Iran terhadap Presiden AS Donald Trump, bahwa Iran mampu menghantam pangkalan militer AS di negara manapun di kawasn Timur Tengah bila eskalasi terus berlanjut. Dan mungkin hal ini pula yang membuat Trump melunak terhadap retorika perang yang selama ini diumbarnya terhadap Iran.
Scott Ritter, mantan perwira intelijen Korps Marinir AS, dalam sebuah artikel yang dimuat Russia Today menyatakan, aspek terpenting dari serangan balasan Iran terhadap AS adalah cara misilnya bekerja, menghantam sasaran (pangkalan militer AS di Irak) dengan akurasi sangat tinggi. Selama bertahun-tahun, (baru sekaran) Iran telah membuat langkah signifikan dalam hal keandalan, jangkauan dan ketepatan kekuatan rudal balistiknya, yang sebelumnya mengandalkan rudal SCUD buatan Soviet.
Iran menghantam aset militer AS dengan menggunakan rudal canggih baru — Qaim 1 dan Fahad 110 — yang memiliki panduan dan kontrol canggih yang mampu menunjukkan presisi dengan tepat. Iran telah menggunakan senjata-senjata ini sebelumnya, kala menyerang target pemberontak di dalam wilayah Suriah yang berafiliasi dengan Negara Islam atau ISIS. Tapi ini adalah pertama kalinya senjata-senjata ini digunakan melawan AS.
“Dari perspektif AS, hasilnya sangat serius. Serangan rudal Iran mengakibatkan tidak ada korban di antara AS, Irak atau pasukan koalisi yang ditempatkan di pangkalan Al Asad atau Erbil. Namun, kurangnya kematian, sebenarnya adalah cara Teheran untuk membuktikan keakuratan rudal balistiknya,” tulis Scott Ritter, mantan perwira intelijen Korps Marinir AS.
Gambar satelit komersial dari pangkalan udara Al Asad yang diambil setelah serangan itu menunjukkan bahwa rudal Iran menghantam bangunan yang berisi peralatan dengan ketepatan yang sebelumnya hanya dianggap mungkin oleh kekuatan negara maju seperti AS, NATO, Rusia dan Cina. Iran menembakkan 17 rudal ke Al Asad, dan 15 mengenai target mereka (dua rudal gagal meledak).
Iran juga menembakkan lima rudal tambahan ke konsulat AS di Erbil; Komandan AS di lapangan mengatakan bahwa tampaknya Iran sengaja menghindari pemogokan konsulat, tetapi dengan melakukan hal itu mengirimkan sinyal yang jelas bahwa jika diinginkan, konsulat akan dihancurkan.
Trump Harus Mundur dari Sikap Pemusuhan dengan Iran
Scott Ritter menyebut, langkah mundur dari upaya perang terbuka dengan Iran adalah kenyataan yang harus dihadapi Presiden Trump ketika berbicara kepada orang-orang Amerika mengenai keadaan permusuhan antara AS dan Iran. Trump sebelumnya berjanji akan melakukan pembalasan besar-besaran seandainya Iran menyerang personil atau fasilitas AS.
Trump harus mundur dari ancaman itu, dan tim kemanan nasional disekelilingnya tahu betul bahwa jika dia akan menyerang Iran, respons Iran akan lebih menghancurkan baik bagi AS maupun sekutu regionalnya, termasuk Israel, Arab Saudi dan UEA. AS mungkin dapat menimbulkan kehancuran tak terbayangkan di Iran, tetapi biaya yang dibayarkan akan sangat tinggi.
“Retorika Trump agresif. Pesannya menegaskan bahwa AS masih menganggap Iran sebagai negara jahat yang pengejaran teknologi nuklir, rudal balistik, dan dominasi regional akan ditentang oleh AS, dengan kekuatan jika perlu. Tetapi serangan rudal Iran membawa pulang kenyataan baru bahwa, ketika sampai pada tindakan Iran di Teluk Persia, retorika Kepresidenan Amerika tidak lagi berpengaruh seperti dulu,” sebut mantan perwira intelijen Marinir AS itu.
Di sisi lain, ia menyebut bahwa Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, telah membawa pulang poin ini dalam serangkaian tweet-nya, yang mengklaim telah “menampar” AS dalam menghadapi pembunuhan atas Soleimani. Menurutnya, Khamenei menekankan bahwa kebijakan yang ditempuh oleh Soleimani “mengusir” AS dari wilayah teluk Persia menjadi kenyataan, mengutip pemungutan suara baru-baru ini oleh Parlemen Irak untuk mengusir semua pasukan asing, termasuk pasukan AS, dari tanahnya.
Presiden Trump, dalam pidatonya kepada orang-orang Amerika, tentu saja berbicara dalam pembicaraan mengenai artikulasi kebijakan anti-Iran yang kuat. “Pertanyaan sebenarnya adalah apakah Trump dan orang-orang Amerika siap untuk berjalan, terutama di dunia di mana rudal Iran mampu menangani kematian dan kehancuran pada ruang lingkup dan skala yang sebelumnya tak terbayangkan,” tutp Scott Ritter, mantan perwira intelijen Korps Marinir AS dalam artikelnya yang ditayang Russia Today.