SinarPost.com – Umat Islam di seluruh dunia baru saja merayakan tahun baru Islam, 1 Muharram 1446 Hijriyah. Bagi umat Islam, Muharram adalah bulan yang mulia yang menjadi pembuka tahun kalendar Islam.
1 Muharram 1446 Hijriyah sendiri bertepatan dengan Ahad (7/7/2024). Sedangkan warga Nahdliyin memulai 1 Muharram 1446 H pada Senin (8/7/2024). Terdapat beberapa kemuliaan dalam bulan Muharram. Sejumlah kemuliaan itu sebagaimana dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), di antaranya sebagai berikut:
Pertama, Muharram sebagai salah satu bulan haram (mulia)
Muharram adalah bulan yang dimuliakan bahkan sebelum datangnya Islam. Pada bulan ini terdapat dilarang untuk melakukan perbuatan dzalim baik untuk diri sendiri maupun orang lain, seperti peperangan.
Dilarangnya tumpah darah pada bulan ini merupakan hukum adat masyarakat Arab Jahiliyah yang tak tertulis serta berlaku sejak lama.
Penjelasan mengenai Muharram sebagai bulan mulia tersirat dalam firman Allah surah at-Taubah: 36.
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ…
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram…..”
Adapun empat bulan haram (mulia) sebagaimana yang dijelaskan oleh at-Thabari dalam tafsirnya yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Kedua, Muharram merupakan bulan Allah _(syahrullah)_
Mengutip perkataan dari al-Zamakhsyari yang dinukil dari kitab Faidh al-Qadir karya Abd al-Ra’uf al-Munawi, yang mengatakan ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Ahlullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy.”
Adanya penyandaran khusus terhadap bulan Muharram menunjukkan keutamaan bulan tersebut yang tidak kita temui pada bulan selainnya.
Ketiga, adanya anjuran puasa Tasu’a dan ‘Asyura di bulan Muharram.
Salah satu keutamaan bulan Muharram adalah adanya anjuran untuk puasa Tasu’a dan ‘Asyura. Sebagaimana yang dikutip dalam hadis riwayat Imam Muslim:
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim)
Adapun anjuran berpuasa dua hari dalam bulan Muharram berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas ra.
“Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan menyuruh para Sahabatnya juga berpuasa, maka mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah SAW, hari Asyura itu hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Kalau demikian, Insya Allah tahun depan kita berpuasa pada hari yang kesembilan.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Demikianlah sejarah penanggalan hijriyah, penentuan bulan sebagai awal tahun, serta keutamaan yang terkandung dalam bulan Muharram.
Dengan mengetahui sejarah panjang penentuan tahun Islam, diharapkan mampu memaknai kembali spirit yang ingin disampaikan para sahabat-sahabat Rasulullah kala memulai gagasan dibuatnya tahun Hijriyah.
Oleh sebab itu, dengan kemuliaan serta keutamaan yang Allah berikan, seyogianya menjadi acuan bagi umat Muslim untuk memperbanyak amal ibadah serta menjauhkan diri dari perbuatan dzalim baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Awal kalender Hijriyah
Sejarah 1 Muharram adalah tanda peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 masehi.
Lafaz Muharram memiliki arti ‘dilarang’. Maksudnya adalah sebelum ajaran Islam datang, bulan Muharram telah dikenal sebagai bulan yang dimuliakan oleh masyarakat Arab Jahiliyah.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul-Baari menjelaskan asal muasal lahirnya penanggalan hijriyah.
Sejarah kalender Islam diawali ketika Gubernur Abu Musa Al-Asyari mengirimkan surat kepada Khalifah Umar Bin Khatab pada tahun 17 Hijriyah yang mengungkapkan kebingungannya perihal surat yang tidak memiliki tahun.
Pada masa itu, umat Muslim masih mengadopsi peradaban Arab pra-Islam dalam menggunakan penanggalan yaitu menuliskan sebatas bulan dan tanggal tanpa tahun di dalamnya.
Hal tersebut menyulitkan sang Gubernur saat melakukan pengarsipan dokumen. Melalui keresahan tersebut, muncullah gagasan awal untuk menetapkan kalender Islam.
Menindak lanjuti surat dari Abu Musa al-Asy’ari, Khalifah Umar yang memanggil Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf RA, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam RA, Sa’ad bin Waqqas, serta Thalhan bin Ubaidillah sebagai tim yang bertugas penyusunan kalender Islam.
Setelah tim disepakati, mulailah pembahasan mengenai penentuan tahun pertama. Sebagian ada yang mengusulkan dimulai di tahun Gajah, yaitu waktu kelahiran Nabi. Ada pula yang mengusulkan di tahun wafatnya Nabi. Ada juga yang mengusulkan di tahun pengangkatan menjadi Rasul, hingga opsi di tahun hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Usulan keempat yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib lah yang disepakati sebagai awal tahun Islam yaitu ditandai dengan peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Pendapat tersebut, dianggap sebagai peristiwa besar bagi Islam yang mana hijrah merupakan simbol perpindahan masa jahiliyah ke masyarakat madani.
Keputusan awal tahun telah disepakati, pembahasan selanjutnya adalah bulan pertama yang mengawali tahun Islam.
Usulan bulan Rabi’ al-Awwal diajukan sebagai awal bulan untuk memulai tahun. Hal ini dikarenakan Rasulullah hijrah lada bulan tersebut.
Akan tetapi, usulan ini ditolak. Khalifah Umar justru memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam susunan tahun Hijriyah. Pendapat ini didukung pula oleh Utsman bin Affan.
Alasan lain pemilihan bulan Muharram adalah meskipun hijrah dilakukan di bulan Rabi’ al-Awwal, akan tetapi permulaan Hijrah dimulai sejak bulan Muharram.
Khalifah Umar mengatakan, wacana hijrah dimulai setelah beberapa sahabat membaiat Nabi, yang dilaksanakan pada penghujung bulan Dzulhijjah. Adapun bulan yang muncul setelah Dzulhijjah yaitu bulan Muharram. Oleh sebab itu, Muharram dipilih serta disepakati menjadi bulan pembuka dalam tahun Hijriyah.