SinarPost.com, Banda Aceh – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra kembali menegaskan bahwa Islam di Indonesia (Nusantara) bermula dari Aceh, bukan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Selain menegaskan Islam di Nusantara berawal dari Aceh, cendekiawan muslim Indonesia ini juga mengatakan Aceh sebagai pusat peradaban Islam tertua di Asia Tenggara dapat dibuktikan secara akademis. Bahkan, katanya, banyak bukti sejarah dapat dibuktikan seperti adanya Kesultanan Aceh, naskah kono, benda-benda peninggalan sejarah dan lahirnya ulama-ulama besar dari Aceh.
Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga menyebut, penetapan Barus sebagai Titik Nol Islam di Nusantara sarat kepentingan politik. Seperti diketahui pada Jumat (24/3/2017) lalu, Presiden Jokowi meresmikan Tugu Titik Nol Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
“Barus titik nol pusat beradaban Islam adalah pernyataan politis, bukan pernyataan secara akademik. Seperti yang saya katakan, sejarah itu ditulis atau diteliti untuk beberapa kepentingan, salah satunya kepentingan politis. Secara akademis, pernyataan Barus adalah titik nol belum bisa dibuktikan,” kata Prof Azyumardi Azra dalam seminar nasional yang mengangkat tema “Aceh Pusat Peradaban Islam Terawal di Asia Tenggara” yang berlangsung di Gedung Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (17 /2/2020) lalu.
Menurut Guru Besar Sejarah UIN Jakarta ini, penyebaran Islam di Aceh telah berlangsung sejak abad ke 12 oleh ulama-ulama sufi sehingga budaya Islam dalam masyarakat Aceh telah tertanam dalam budaya lokal masyarakat. Selain itu, Aceh juga menjadi pusat penyebaran Islam karena posisinya yang stategis dalam bidang perdagangan dan maritim. “Pada abad ke 16 Aceh telah berhubungan dengan masyarakat Islam secara global seperti Mekah dan Madinah,” sebutnya.
Selain itu, Azyumardi Azra juga mengatakan bahwa titik sentral peradaban Islam di Aceh itu berada di Kota Banda Aceh meskipun awal mulanya Islam terdapat di Samudera Pasai (Aceh Utara) atau Peureulak di Aceh Timur. Namun yang paling lengkap dan paling berjaya itu adalah Kesultanan Aceh Darussalam yang pusat pemerintahannya berada di Banda Aceh, karena saat itu Banda Aceh yang dulunya bernama Kutaraja menjadi pusat pengembangan intelektualisme Islam, perdagangan, pelayaran, pertahanan dan pusat kemiliteran besar yang dikendalikan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sekedar informasi, pada 2017 lalu, Prof Azyumardi Azra juga menyampaikan hal yang sama bahwa penetapan kawasan Barus sebagai titik nol pusat peradaban Islam di Nusantara oleh Presiden Jokowi tidak berlandaskan kajian akademik. Hal ini disampaikannya dalam seminar nasional yang juga berlangsung di UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Azyumardi Azra menegaskan, tidak ada bukti kuat terkait penetapan Barus sebagai Titik Nol Islam di Nusantara. “Saya tidak menemukan bukti kuat bahwa Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara. Siapa yang membisiki Presiden Jokowi untuk meresmikan itu, sebab tak da bukti di sana,” katanya.
Bahkan saat itu, Azyumardi Azra bernada sindiran menyebut bahwa penelitian sejarah ada tiga model bukti dikemukakan. Pertama, sejarah itu ditemukan kembali melalui penelitian. Kedua, direkonstruksi kembali oleh para sejarawan meski tidak bisa seratus persen akurat. Ketiga, Sejarah itu dibikin, direkayasa.
“Saya melihat ada kepentingan idiologis politis di Barus. Ada upaya Membangun sejarah politis idiologis,” ujar Azyumardi, seraya menegaskan hanya Samudera Pasai (Aceh Utara) lah yang memiliki bukti kuat Islam di Nusantara bermula. “Saya belum menerima, belum ditemukan bukti di Barus. Saya masih pegang Pasai sebagai Islam Nusantara Bermula dengan bukti yang jelas,” pungkasnya.