SinarPost.com, Lhoksukon – Masih ingat dengan kebakaran hebat yang melanda Keude Paya Bakong, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara, yang menghanguskan 19 Ruko dan satu unit rumah pada Jumat (25/10/2019) lalu?
Peristiwa kebakaran ini memang sudah berlalu hampir 2,5 bulan, namun tentu saja peristiwa ini masih membekas di benak para korban yang terdiri dari 22 KK. Mereka masih menanggung duka karena tempat tinggal dan harta benda mereka lenyap ‘ditelan’ api.
Arah kehidupan mereka saat ini sama sekali belum menentu, jangankan berbicara kebangkitan ekonomi, tempat tinggal saja masih terkatung-katung. Ada yang mendirikan gubuk se-alakadarnya di bekas kediaman mereka yang terbakar, ada juga yang masih menumpang hidup di rumah sanak familinya.
Baca Juga:
Kebakaran Hebat Landa Paya Bakong, Belasan Ruko Hangus Terbakar
[Video] Dahsyatnya Kobaran Api yang Hanguskan Belasan Ruko di Paya Bakong
Beberapa hari pasca kebakaran, bantuan masa panik banyak mengalir dari berbagai stakeholders, baik dari pemerintah, pihak swasta maupun bantuan sosial yang datang dari berbagai kalangan (masyarakat) pegiat sosial. Kala itu banyak pihak yang berempati, ada yang memang karena panggilan nurani, ada juga yang memanfaatkan moment untuk kepentingan tertentu. Terlepas dari itu semua, bantuan masa panik saat itu tentu saja sangat membantu para korban musibah kebakaran.
Namun bagaimana nasib mereka hari ini? Masihkah ada yang peduli? Apakah pemerintah masih mengingat keadaan dan nasib mereka, atau jangan-jangan sudah lupa seiringnya waktu. Memang secara fisik para korban kebakaran di Paya Bakong masih sehat dan kuat, tapi secara psikologis mereka masih terpukul. Mereka harus kembali ke titik nol, berjuang bertahan hidup, dan menata ekonomi hingga dapat memiliki kembali bangunan layaknya sediakala.
Menurut keterangan para korban, saat ini (mereka) belum ada tanda-tanda akan mendapat bantuan bangunan dari pemerintah, baik dari Pemkab Aceh Utara maupun dari Pemerintah Provinsi Aceh. Secara moral, bantuan bangunan itu (kalau mau dibangun), tanggungjawab pertama tentu saja ada di pihak Pemkab Aceh Utara. Tapi kalau pemerintah daerah tidak mampu secara finansial, anggarannya bisa dilobi ke pemerintah provinsi. Tentu alur mainnya (para pejabat) pemerintah yang lebih mengetahui.
Namun mirisnya, di tengah ekonomi mereka yang masih merab-raba, tempat tinggal yang masih terkatung-katung, serta bantuan fisik (bangunan) dari pemerintah belum ada kepastian, malah Perusahaan Listrik Negara (PLN) datang menagih iuran listrik kepada para korban. Menurut keterangan M. Herizal, salah satu korban kebakaran Paya Bakong, petugas dari perusahaan pelat merah ini datang menagih iuran listrik pada akhir Desember 2019 lalu.
Petugas secara tegas datang ke lokasi (Keude Paya Bakong) menagih iuran listrik bulan Oktober dan beban selama kebakaran (November dan Desember). Para petugas PLN menegaskan bahwa jika tidak membayar maka akan dipasang meteran listrik prabayar, tidak lagi pasca bayar seperti semula (Terserah mau ditafsir apa, namun menurut korban ini bentuk ancaman PLN bagi mereka). Kehadiran petugas PLN sempat diusir oleh para korban.
“Tindakan PLN ini sangat tidak manusiawi, mereka datang menagih iuran listrik dengan nada ancaman apabila tidak segera membayar maka akan dipasang meteran prabayar. PLN sama sekali tidak peka dengan nasib para korban kebakaran, yang notabene terjadi karena korsleting listrik di salah satu meteran warga,” keluh Herizal, Sabtu (11/1/2020), yang turut diamini korban kebakaran lainnya.
“Seharusnya PLN meski tidak memberi santunan, datang membesuk korban karena kebakaran terjadi akibat korsleting litrik. Ini tidak, PLN datang menagih iuran disaat korban masih trauma dan duka. Ini bukan soal nominal harga iuran, tapi soal hati dan empati, seharusnya ini ada di PLN,” tambahnya, kesal.
Keluhan dan kekecewaan yang disampaikan Herizal dan korban lainnya tentu cukup beralasan. PLN sebagai instrumen negara, perusahaan pelat merah (BUMN), meski orientasinya bisnis tapi setidaknya sedikit mengedepankan rasa kemanusian, memakai nurani dengan berempati terhadap para korban musibah kebakaran yang semua harta bendanya sudah lenyak ditelan api.
PLN seharusnya bisa melihat situasi saat melakukan penagihan, dan sedikit memberi kelonggaran waktu kepada korban, andai memang sama sekali tidak bisa digratiskan (bebannya) untuk sekian waktu. PLN setidaknya hadir dengan memberi pemahaman kepada korban, jika ekonomi sudah mulai stabil untuk membayar beban listrik, bukan malah datang melakukan penagihan di tengah suasana hati mereka sedang duka serta trauma yang belum pulih akibat musibah kebakaran.
Sepakat dengan yang disampaikanni Herizal bahwa ini bukan soal jumlah atau nominal tagihan, tapi soal nurani, soal kepekaan terhadap masyarakat yang lagi dilanda musibah. Seharusnya pihak PLN bisa sedikit memberi kelonggaran waktu hingga pulihnya trauma para korban kebakaran.