SinarPost.com – Awal Januari 2020, dunia dihentakkan dengan perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Islam Iran. Konflik yang hampir meletusnya perang Dunia III ini bermula saat AS membunuh Komandan Al-Quds Iran, Mayor Jenderal Qassem Sulaimani dalam sebuah serangan udara di dekat bandara internasional Irak, Baghdad.
Sebagai aksi balasan, Iran balik menyerang dua pangkalan militer AS di Irak dengan belasan rudal balistik. Meski serangan ini — oleh Presiden AS Donald Trump menyatakan tidak ada korban jiwa — namun serangan balasan Iran telah menghancurkan sejumlah besar peralatan militer AS yang ditempatkan di pangkalan Ain al-Asad dan Erbil.
Pasca serangan balasan Iran ini, baik AS maupun Iran sama-sama melunak dan mundur beberapa langkah untuk menghindari perang terbuka yang dapat menjerumus ke perang skala besar dan meletusnya perang Dunia III. Konflik Iran-AS mereda, dunia pun lega.
Ok, lupakan sejenak konflik antara AS dan Iran yang sudah mulai mereda. Mari sejenak kita membuka lembaran sejarah pada awal tahun 1991, dengan lokasinya tetap di kawasan Timur Tengah atau Teluk Persia. Sejarah yang terjadi pada Januari 1991 jauh lebih parah dengan apa yang kita saksikan hari ini, dimana AS bersama belasan sekutunya dari NATO dan negara-negara Teluk Arab menyerbu Irak habis-habisan yang saat itu dipimpin Saddam Husein.
Serangan terhadap Irak ini — yang dikenal dengan Perang Teluk II — terjadi beberapa tahun pasca berakhirnya Perang Teluk I antara Irak vs Iran (1980-1988). Bila Perang Teluk I Irak yang berkoalisi dengan AS dan sekutu lainnya menyerang Iran (berakhir dengan gencatan senjata yang dipelopori oleh PBB), maka Perang Teluk II gilaran AS dan sekutunya yang menyerbu Irak. Perang Teluk I aktor utamanya adalah Irak-Iran, sementara Perang Teluk II diaktori oleh Irak-Kuwait.
Sebab Pecahnya Perang Teluk II
Bila Perang Teluk I terjadi akibat ulah Irak yang ingin menguasai wilayah perbatasan Iran serta kekhawatiran Saddam Husein atas pengaruh Syiah yang dibawa oleh Imam Khumaini dalam Revolusi Iran, maka Perang Teluk II pecah saat Irak menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990. Dengan strategi gerak cepat Irak langsung menguasai Kuwait. Emir Kuwait Syeikh Jaber Al Ahmed Al Sabah segera meninggalkan negaranya dan Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak dengan nama Saddamiyat Al-Mitla` pada tanggal 28 Agustus 1990.
Dikutip dari Wikipedia, invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah perang 8 tahun dengan Iran dalam Perang Irak-Iran (Perang Teluk I). Irak sangat membutuhkan ‘petro dolar’ sebagai pemasukan ekonominya saat itu, sementara rendahnya harga minyak akibat kelebihan produksi Kuwait dan Uni Emirat Arab dianggap oleh Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla. Meski pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis, namun Saddam Husein tetap bernafsu untuk menguasai Kuwait (negara kecil yang kaya minyak) secara menyeluruh.
Irak juga terjerat utang luar negeri dengan beberapa negara, termasuk Kuwait dan Arab Saudi. Irak berusaha meyakinkan kedua negara tersebut untuk menghapuskan utangnya, tetapi ditolak mentah-mentah oleh keduanya. Selain itu, Irak juga mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Turki Usmaniyah. Tepat pada tengah malam tanggal 2 Agustus 1990, Irak secara resmi menginvasi Kuwait dengan membombardir Ibukota Kuwait City dari udara.
Meskipun Angkatan Bersenjata Kuwait, baik kekuatan darat maupun udara berusaha mempertahankan negara, namun mereka dengan cepat bisa ditaklukkan oleh pasukan Saddam Husein. Pasukan Kuwait hanya sedikit memperlambat gerak Irak untuk menyelamatkan keluarga Kerajaan Kuwait meloloskan diri ke Arab Saudi. Akibat invasi ini, Kuwait pun meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990.
Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi terhadap Irak pada 6 Agustus 1990. Sementara AS — menyahuti permintaan pemimpin Kuwait di pengasingan — mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara sekutu lainnya seperti negara-negara Arab, NATO dan sebagian kecil negara-negara di Afrika. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen Khalid bin Sultan.
Sebelum koalisi pimpinan AS menyerang Irak untuk membebaskan Kuwait, misi diplomatik antara James Baker dengan Menteri Luar Negeri Irak Tareq Aziz sempat dibangun namun gagal pada 9 Januari 1991. Irak menolak permintaan PBB untuk menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991. Karena sikap keras kepala Saddam Husein, akhirnya pada tanggal 12 Januari 1991, Kongres AS merestui Presiden George H. W. Bush untuk melancarkan serangan terhadap Irak. Operasi yang diberi nama ‘Badai Gurun’ ini dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Bagdad, yang diawali dengan serangan-serangan udara masif atas Bagdad dan beberapa wilayah Irak lainnya.
Target utama koalisi pimpinan AS ini adalah untuk menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Irak dan pertahanan udara negara itu, yang diluncurkan dari Arab Saudi dan kekuatan kapal induk AS di Laut Merah dan Teluk Persia. Target berikutnya adalah pusat komando dan komunikasi. Saddam Hussein merupakan titik sentral komando Irak, dan inisiatif di level bawah tidak diperbolehkan. Koalisi berharap jika pusat komando rusak, semangat dan koordinasi tempur Irak akan langsung kacau dan lenyap.
Target ketiga dan yang paling utama dari serangan AS dan koalisinya adalah instalasi rudal jelajah Irak, terutama rudal Scud. Operasi pencarian rudal ini juga didukung oleh pasukan komando Amerika dan Inggris yang mengadakan operasi rahasia di daratan untuk mencari, dan bila perlu, menghancurkan instalasi rudal tersebut. serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.
Selain melawan gempuran AS dan sekutunya, Irak juga melakukan serangan balasan dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv dan Haifa, Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Soviet rakitan Irak, yang bernama Al Hussein. Untuk menangkal ancaman Scud, koalisi memasang rudal penangkis, Patriot, serta memaksimalkan sorti udara untuk memburu rudal-rudal tersebut sebelum diluncurkan.
Irak juga melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur-sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia. Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Soviet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev namun ditolak Presiden Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Soviet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB semisal mengambil hak veto, meskipun Uni Soviet pada saat itu dikenal sebagai sekutu Irak, terutama dalam hal suplai persenjataan.
Di sisi lain, Amerika Serikat meminta Israel untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak guna menghindari berbaliknya kekuatan militer negara-negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan. Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan Presiden Bush menyatakan perang selesai.