Oleh : Nailis Wildany*
Tanah Rencong, Bumi Iskandar Muda, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Serambi Mekkah adalah sederetan nama istimewa yang disandang oleh Provinsi Aceh. Ditinjau dari sejarah, luas Provinsi Aceh saat ini tidaklah sama saat nama kehormatan itu dinobatkan, dan Aceh hari ini juga tidak sehebat masa lalu. Provinsi istimewa yang sejak 2008 telah mendapat kucuran Dana Otsus puluhan triliun itu masih menyandang gelar salah satu provinsi termiskin di Indonesia bahkan kedua di Sumatra.
Miris memang jika kita berkaca pada sejarah, namun begitulah realitasnya. Allah SWT selaku pemilik alam semesta tentu tidak selamanya memberi kenikmatan dan kejayaan pada suatu kaum tertentu, Allah akan menguji sebuah kaum dengan kejayaan dan kehancuran agar menjadi pembelajaran. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS. Ali Imran:140).
Dulu Aceh adalah negeri yang mandiri dan makmur, ketaatan penduduknya tidak diragukan lagi sehingga Aceh mendapat julukan Serambi Mekkah. Kini, Aceh meski menyandang daerah kaya dengan APBD yang gemuk, namun provinsi di ujung Pulau Sumatera ini harus bergantung penuh pada provinsi tetangga, Sumatra Utara. Segala macam kebutuhan Aceh dikirim dari Medan, mulai dari telur, pakaian, sembako, hingga kendaraan semuanya masuk ke Aceh melalui Medan. Tak ayal, jika masyarakat Aceh tidak bisa lepas dari Medan dan tentunya memiliki banyak kepentingan yang mengharuskan mereka pulang pergi Aceh-Medan untuk bisnis, berobat hingga berbelanja atau sekedar mencari hiburan.
Medan telah menjadi destinasi belanjanya masyarakat Aceh, tak hanya pakaian dan kebutuhan pangan, namun juga kendaraan. Nah, inilah salah satu faktor kenapa Plat BK menjamur di Provinsi Aceh. Masyarakat Aceh masih banyak yang membeli mobil dari Medan karena faktor kepentingan bisnis dan harga yang lebih murah ketimbang di Aceh. Masyarakat Aceh Tamiang dan Kota Langsa yang jaraknya lebih dekat ke Medan juga membuat mereka lebih memilih ke Ibukota Sumatera Utara itu ketimbang Banda Aceh yang jaraknya hampir tiga kali lipat.
Minimnya pabrik besar di Aceh juga mengharuskan pedagang menerima pasokan dari Medan. Dengan ketergantungan setinggi itu terhadap Medan maka dibutuhkan mobilisasi yang lancar dan aman, belum lagi karena sikap paranoid rakyat Aceh saat hendak ke Medan dengan plat BL yang akan ditilang. Kondisi ini mendesak masyarakat yang berkepentingan jangka panjang terhadap kota Medan untuk mengganti plat kendaraannya menjadi BK atau memang membelinya langsung dari Medan. Hal ini juga mengingat karena di Provinsinya Aceh tercinta ini tidak pernah dilakukan penilangan terhadap mobil berplat non-BL.
Kendaraan (khususnya mobil) yang berplat selain BL di Aceh tidak hanya BK, meski BK menduduki peringkat pertama, namun plat B (Jakarta) juga banyak ditemukan di Aceh, apa penyebabnya? Mengapa mobil dengan plat tersebut ikut berkeliaran di Provinsi Aceh?. Tidak semua mobil plat B pemiliknya adalah penduduk Jakarta, bahkan masyarakat Aceh juga dengan sengaja membeli mobil ibukota tanpa menghiraukan plat B-nya demi hanya mendapatkan harga yang sedikit lebih murah. Mungkin mereka juga merasa aman dengan plat non-BL di Aceh karena tidak pernah razia layaknya seperti plat BL masuk ke Sumatera Utara.
Keterbatasan ekonomi dan kebutuhan terhadap kendaraan roda empat juga memaksa masyarakat Aceh mencari mobil dengan harga semurah-murahnya. Kalkulasi dari mobil berplat non-BL di Aceh mencapai 15% lebih. Apa dampak dari tingginya mobil berplat non-BL di Provinsi Aceh? Tentunya dalam hal keuangan daerah. Masyarakat Aceh berplat non-BL akan membayar iuran pajak kendaraannya ke daerah induk mobil dibeli, plat BK membayar ke Medan, plat B ke Jakarta, dan seterusnya. Mereka melaju di jalan Aceh dan membayar pajak ke provinsi lain, mereka mencemarkan udara di Aceh dengan asap kendaraanya dan menyetor tanggungjawabnya ke daerah lain. Ini tidak adil mengingat provinsi kita adalah provinsi dengan PAD yang rendah karena tidak banyak memiliki penghasilan selain Otsus. Hal-hal seperti ini sedikit banyaknya telaj merugikan Aceh.
Lalu apa yang pemerintah lakukan? Hingga saat ini belum ada kebijakan khusus yang dilakukan Pemerintah Aceh terkait permasalahan plat non-BL, boleh jadi mungkin juga karena banyak pejabat Aceh yang menggunakan mobil plat non-BL. Pemerintah sebaiknya sadar dan peka terhadap masalah selagi dini, jangan sampai kendraraan plat non-BL menyentuh angka 40% baru mengambil sikap. Kebijakan yang kelak akan diambil juga harus mempertimbangkan hak dan kepentingan masyarakat Aceh perbatasan, seperti Tamiang dan Langsa. Tentu tidak mudah mengatasi hal ini namun cara terbaik adalah meningkatkan kemandirian ekonomi Aceh sehingga ketegantungan terhadap provinsi tetangga menurun, dan mobilisasi Aceh-Medan berkurang sehingga masyarakat Aceh tidak perlu memakai kendaraan berplat-BK dan sebagainya.
Hal ini juga tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah, masyarakat juga memiliki porsi kesalahan. Masyarakat yang terbilang tidak terlalu memiliki kepentingan dengan kota Medan juga banyak yang menggunakan kendaraan berplat-BK, masyarakat yang membeli mobil dari Jakarta atau Medan juga sebaiknya mengganti plat kendaraannya menjadi BL, meski sedikit menguras waktu dan tenaga tapi tidak ada salahnya demi sedikit mendongkrak ekonomi daerah kita yang sudah tergolong miskin ini.
*Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.