Oleh : Zulkifli BI*
Sejarah perjuangan telah menuai cerita panjang tentang gerilya para kombatan yang menamakan diri Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun setelah tercapainya perdamaian antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) yang dikenal dengan MoU Helsinki pada tahun 2005 silam, nilai-nilai perjuangan yang dulunya menggema lewat dentuman senjata kini beralih lewat jalur politik. Para eks kombatan terus merawat semangat perjuangan meski menuai jalan terjal.
Kini 14 tahun sudah perdamaian menghentikan kontak tembak antara GAM dan Tentara RI, dengan usia yang semakin dewasa bukan berarti perdamaian akan berakhir sia-sia. Memang faktanya belum ada kemewahan yang dihasilkan dibalik tabir MoU Helsinki untuk rakyat Aceh. Merealisasikan kesepahaman dua pihak yang pernah terlibat perseteruan panjang tentang marwah tak seperti membalikan telapak tangan.
Meski demikian, sebagai rakyat Aceh kita harus tetap mendukung setiap keputusan yang diambil oleh para pemimpin di negeri ini, walaupun pada hakikatnya keputusan itu belum berpihak sepenuhnya kepada kita sebagai rakyat, tapi itulah yang terbaik menurut mereka untuk Bangsa Aceh. Cerita panjang tentang perdamaian ini akan terus berlanjut atau kembali kandas dengan konflik perselisihan yang sama atau sebab faktor ekonomi dan lainnya, tergantung dari bagaimana kesepakatan politik yang digaungkan mampu diterima dan direalisasikan oleh kedua belah pihak.
Kini Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Lewat MoU Helsinki, Aceh sebagai daerah yang dikhususkan telah mendapat kucuran anggaran triliunan dari Pemerintah Pusat. Pertanyaannya, apakah kesejahteraan selalu berbicara tentang uang? Apakah MoU hanya sekedar isi perut lalu kenyang? Kemudian MoU baru dianggap sudah dijalankan sebagaimana mestinya. Ini menjadi analisis bagi kita semua sebagai rakyat Aceh dengan segala multi tafsir.
Namun, secara garis besar MoU Helsinki hadir untuk sebuah rasa keadilan yang semestinya dirasakan oleh rakyat Aceh, akan tetapi dalam perjalanannya rasa yang dinamakan keadilan itu hanya dirasakan oleh segelintir elit saja, demikian asumsi kebanyakan masyarakat Aceh. Lalu, apa yang menghambat seluruh rakyat Aceh tidak bisa merasakan yang namanya keadilan dan kesejahteraan itu? Apa diri kita yang menjadi penyebabnya? Apa sebab kita yang selalu mencerca terhadap sesama? Sekarang saatnya kita mengintrospeksi diri mengapa Aceh kita sampai begini, 14 tahun sudah perdamainan namun apa yang telah dilembarkan dalam MoU Helsinki dan UUPA tak sepenuhnya terealisasi.
Mungkinkah karena kita tak pernah mencoba untuk jadi mandiri setelah tercapainya perdamaian? Atau apakah kebijakan elit Aceh yang tidak berpihak sepenuhnya kepada rakyat Aceh? Entahlah, apapun asumsi dan penilaiannya, yang jelas untuk mencapai taraf kesejahteraan itu tergantung usaha diri sendiri. Kita hanya bersyukur dengan adanya perdamaian, langkah dan pergerakan rakyat Aceh tidak lagi dalam ketakutan.
Dengan segala yang dirasakan hari ini, menurut asumsi penulis, MoU Helsinki saat ini belum pantas dikenang sebagian “ruh” kesejahteraan rakyat Aceh. Pasalnya turunan butir-butir MoU Helsinki belum sempurna direalisasikan untuk menopang pembangunan dan kesejahteraan.
MoU Helsinki masih wajib diperjuangkan demi menghadirkan ‘Aceh Hebat’ dan ‘Aceh Bermartabat’, bukan hanya sekedar komoditas politik. Setiap pemangku kebijakan di Aceh harus satu persepsi terhadap MoU Helsinki, yakni untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Aceh secara menyeluruh. Untuk mencapai taraf tersebut, perjuangan Aceh masih sangat panjang, MoU bukanlah jalan terakhir untuk keadilan bagi seluruh rakyat Aceh, tapi awal dari langkah untuk mengembalikan marwah Aceh seperti yang pernah dirasakan di era Kesultanan Iskandar Muda.
Itu lah mengapa Almarhum Hasan Tiro, selaku proklamator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selalu mengingatkan untuk mempelajari “Sejarah Aceh”, bukan hanya sekedar perlawanan seperti anggapan kebanyakan masyarakat awam. Hasan Tiro selalu memberi wejangan sebagai penyadar bahwa Aceh adalah bangsa yang besar, bangsa yang merdeka, bahkan taraf kemakmuran dan kesejahteraan telah dicapai jauh sebelum adanya bangsa Indonesia. Sejarah Aceh adalah sebuah jati diri, ini yang tidak boleh dilupakan oleh seluruh pemangku kebijakan di Bumi Serambi Mekkah.
Siapapun diantara kita yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan, baik sebagai Gubernur, Bupati/Wali Kota, Legislatif, politisi, generasi muda, para aktivis, cendikiawan, dan siapapun itu, pastinya kita menginginkan agar MoU Helsinki direalisasikan sepenuhnya, karena perjanjian nota kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan RI adalah mutlak atas dasar kepentingan Aceh. MoU Helsinki tercapai karena penderitaan rakyat Aceh, dan sudah semestinya peruntukannya untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat Aceh.
Sebuah harapan atas kepentingan Aceh inilah yang terus menjadi pertimbangan bahwa Nota Kesepahaman yang disepakati pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia itu belum saatnya dikenang, karena semangatnya masih jauh dari kepentingan Bangsa Aceh. MoU Helsinki harus sungguh-sungguh diperjuangkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Aceh. Baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh diharapkan lebih dewasa dalam hal penuntasan seluruh butir yang dijanjikan. Kedewasaan Pemerintahan Pusat, Pemerintah Aceh, khususnya para petinggi eks GAM menjadi tolak ukur seberapa serius gagasan perdamaian yang telah dicapai untuk kemaslahatan Aceh dalam bingkai NKRI.
Elit RI di Jakarta bila ingin melihat Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI, seyogyanya memenuhi janji-janjinya seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki dan UUPA. Jakarta jangan lagi menampakkan wajah ‘pengkhianatan’ terhadap rakyat Aceh. Elit Aceh juga tidak boleh diam diri saat Pusat mengkhianati butir-butir MoU Helsinki dan UUPA, saatnya kita bahu membahu memberikan kontribusi untuk Aceh yang tak kunjung hebat ini. Semoga ‘Aceh Hebat’ dan ‘Aceh Bermartabat’ benar-benar terwujud, bukan hanya slogan semata.
*Penulis merupakan mahasiswa Doktoral (S3) Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung. Sekjend Nasional Sekolah Pemimpin Muda Aceh (SPMA).