SINARPOST.COM, BANDA ACEH | Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki rekam jejak sejarah Islam yang patut dikagumi. Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara (Indonesia) bermula dari provinsi yang berada di ujung Pulau Sumatera ini. Aceh dari dulu sudah melekat dengan Islam sehingga tak heran jika Aceh dijuluki sebagai daereh Serambi Mekkah.
Puncak peradaban Aceh yang bernuansa Islam terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda, yang selanjutnya diwarisi kepada anak cucunya hingga sekarang Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Sebagai daerah yang berbasis Islam tertua di Nusantara, tentu Aceh menyimpan sejarah besar yang patut diketahui baik saat awal mula masuk Islam masa Kerajaan Samudera Pasai, puncak kejayaan Aceh masa Kesultanan Aceh Darussalam, era penjajahan, hingga pasca Indonesia merdeka. Salah satu yang patut ditelusuri adalah keberadaan Pusat Karantina Jemaah Haji Nusantara yang terletak di Pulau Rubiah, Sabang, Aceh.
Dulu Pulau Rubiah sangat terkenal karena menjadi daerah pemondokan bagi Jemaah Haji Nusantara sebelum bertolak ke tanah suci, Arab Saudi. Hal ini dapat dilacak dengan adanya bangunan yang menjadi Pusat Karantina Jemaah Haji Nusantara disana. Bangunan yang menjadi catatan sejarah perhajian Indonesia itu dibangun tahun 1920 pada zaman kolonial Belanda. Sebelum Indonesia merdeka, Pulau Rubiah menjadi destinasi persinggahan kapal Jemaah Haji Nusantara yang hendak pergi ke atau pulang dari Mekkah.
Pada Minggu (14/4/2019), Tim dari Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Aceh yang dipimpin Kabag TU, H. Saifuddin, SE mencoba melakukan Observasi ke tempat Karantina Jamaah Haji Nusantara yang terletak di Pulau Rubiah, Sabang. Dalam Kesempatan tersebut, Tim Kemenag Aceh melihat langsung bangunan dan jejak perjalanan haji nusantara yang ada disana, dan juga melakukan wawancara dengan narasumber yang mengetahui tentang sejarahnya. Kenyataan yang didapat di lapangan, Aceh khususnya Pemerintah Kota Sabang seperti tidak menghargai sejarah dengan membiarkan bangunan bersejarah tersebut dalam kondisi tidak terurus.
Tentu kondisi ini menjadi sesuatu yang miris mengingat Pulau Rubiah tiap tahunnya dikunjungi oleh puluhan ribu wisatawan baik lokal maupun manca negara. Mirisnya karena Pulau Rubiah dikemas sedemikian rupa hingga terkenal sebagai salah satu destinasi wisata — snorkling — terbaik di Indonesia, namun melupakan jejak sejarah yang amat besar disana. Siapa yang tidak mengenal lokasi snorkling di Pulau Rubiah, namun apakan wisatawan yang mengunjungi Pulau Rubiah juga mengetahui perihal keberadaan Pusat Karantina Jamaah Haji Nusantara disana?. Apakah wisatawan mengetahui sejarah besar dibalik Pulau Rubiah? Bila wisatawan tidak mengetahui dan mengunjunginya, ini tentu ada semacam upaya pembiaran dari pemerintah setempat dengan membiarkan lokasi bersejarah itu terlupakan, tanpa ada upaya merawatan apalagi dikemas menjadi destinasi wisata (Islami).
Bangunan Pusat Karantina Haji di Pulau Rubiah itu memang tak ada perawatan, bahkan kondisi bangunannya sangat memprihatinkan karena sudah dipenuhi reruntuhan atap plafon dan dari luar ditumbuhi ilalang setinggi pinggang orang dewasa, terkesan gedung tua itu dibiarkan begitu saja. Di depan bangunan itu juga terdapat sumur tua, sebagai tempat penampungan air. Namun, kondisinya juga terbengkalai begitu saja, dipenuhi sampah pepohonan di dalamnya.
Salah seorang narasumber, Teuku Yahya yang merupakan keturunan dari pemilik sebagian besar tanah di pulau rubiah tersebut menceritakan bahwa Gedung Karantina Haji itu digunakan sampai Jepang Masuk ke Indonesia, dan saat Indonesia merdeka Gedung Karantina Haji ini tidak digunakan lagi, namun Pemberangkatan Jemaah haji masih dilakukan dari Sabang yaitu Asrama Haji yang digunakan berada di Kampung Haji Kota Sabang sampai dengan tahun 70-an.
“Gedung ini merupakan Tempat Karantina Haji untuk Seluruh Jemaah Haji yang akan berangkat ke Jeddah (Saudi Arabia) melalui Transportasi Laut. Gedung Karantina Haji dibangun memadati lebih dari setengah Pulau Rubiah. Rumah sakit dan fasilitas “loundry” juga tersedia dalam gedung tersebut. Proses pemberangkatan Jemaah Haji, setelah masuk karantina lebih kurang 1 sampai 2 bulan sebelum keberangkatan, dan kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan,” ujar Tgk Yahya kepada Tim Kemenag Aceh seperti dikuti dari aceh.kemenag.go.id, Sabtu (20/4/2019).
Menurut keteranganya, banyak juga Kapal-kapal kecil dari Pulau Jawa dan daerah lainnya yang mengantarkan jemaah haji ke Gedung Karantina Haji ini, sebelum kapal besar dari Jeddah menjemput jemaah haji.
“Kapal besar tersebut tidak berlabuh di Pulau Rubiah, sehingga jemaah setelah lolos pemeriksaan akan dibawa ke Kapal Besar tersebut dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Dan pada masa pemulangan, jemaah juga harus dikarantina kembali selama lebih kurang 1 bulan, meskipun jemaah tersebut berasal dari Iboih (Sabang) — daerah yang berada disamping Pulau Rubiah — tidak diperbolehkan pulang. Setelah melakukan pemeriksaan kesehatan dan seluruh baju jemaah dicuci pada “loundry”, baru jemaah diperbolehkan dijemput untuk pulang kembali ke daerah masing-masing,” ungkap Tgk Yahya, menceritakan kisah di Pulau Rubiah yang pernah menjadi Pusat Karantina Haji Nusantara.
Kabag TU Kemenag Aceh, H. Saifuddin,SE, didampingi Kasubbag Inmas dan Kasi Informasi Haji Kanwil Kemenag Aceh mengaku prihatin dengan kondisi Gedung Pusat Karantina Haji Nusantara di Pulau Rubiah dan berharap tempat tersebut mendapat perhatian dari Pemko Sabang, dengan menjadikannya sebagai situs sejarah atau bahkan membangun museum haji sebagai pusat edukasi di masa mendatang.
“Tempat Karantina haji di Pulau Rubiah ini meiliki catatan sejarah dalam riwayat perjalanan haji Indonesia, dulu tempat ini merupakan pusat karantina haji pertama di Indonesia, akan lebih bermanfaat kalau asrama haji ini bisa dijadikan situs sejarah dan museum haji, yang mengandung banyak koleksi arsip, foto foto haji, buku, catatan perjalanan haji, replika kapal ke Jeddah dan pemugaran serta perawatan bangunan lebih layak, karena selain tempat bersejarah, bangunan tersebut juga cocok dijadikan tempat wisata islami,” demikian ungkap Saifuddin.