Oleh : Zulfajri
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan perekonomian negara, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang kena dampak.
Untuk mengatasi keadaan tersebut, Presiden mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu sapu jagat Covid-19 begitu tajamnya bisa memangkas beberapa pasal dalam 12 Undang-undang organik lainnya yang menggunakan pendekatan dan paradigma omnibus law.
Penulis sependapat dari sisi penamaan Perppu a quo dan istilah “kegentingan memaksa” yang memberikan ruang kepada pemerintah untuk mengeluarkan Perppu, walaupun ada pengamat dan akademisi yang memberikan kritikan berkenaan dengan nomenklatur nama Perppu dan syarat kegentingan memaksa yang kurang tepat dengan kondisi yang dihadapi saat ini.
Penanganan Covid-19 sejatinya merupakan rezim kesehatan, dan penyelamatan keuangan negara adalah rezim fiskal dan moneter. Penulis melihat adanya korelasi dan hubungan kausalitas antara Pandemi Covid-19 dengan stabilitas keuangan negara. Adressat yang dituju Perppu a quo langsung dicantumkan dalam bentuk “pernyataan nama disertai dengan penjelasan secara rinci yang terdiri dari 29 kata”.
Konsiderans Perppu memberikan arahan/gambaran yang jelas berkenaan materi norma hukum yang akan diatur. Jika kita cermati penamaan Perppu a quo tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”, yang secara great detailed dijelaskan dalam satu tarikan nafas plus “dan/atau” yang menunjukkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap kondisi yang akan terjadi di kemudian hari.
Namun ada sedikit “ganjalan” dalam Perppu a quo. Pasal 27 ayat (1) Perppu a quo berbunyi “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”.
Aturan tersebut mengindikasikan safety bagi pemangku jabatan dan stakeholders dalam membuat kebijakan bisa saja menguntungkan dirinya. Hal ini disebabkan definisi keuangan negara dipahami dalam arti sempit dan restriktif yang hanya terbatas keuangan negara pada pelaksanaan APBN yang sudah disetujui oleh DPR. Hukum keuangan negara mempunyai tempat di ranah hukum publik, namun memiliki potensi untuk berada di ranah hukum privat dan bersinggungan dengan kepentingan negara. Dengan demikian, hukum keuangan negara memiliki jangkauan yang cukup luas.
Untuk memahami terminologi “keuangan negara” dapat dilakukan dengan pendekatan penafsiran sistematik (systematische intepretatie), penafsiran tujuan kaidah hukum (teleogische interpretatie), penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), dan penafsiran historis (historische interpretatie).
Dari perspektif jejak rekam historis, Indische Staatsregeling dalam Bab 4 Van de Begrooting en van geldleening (Angaran dan Peminjaman Uang) Pasal 1 menyatakan bahwa “Er is een Algemeene Rekenkamer, belast met het toezicht over over het beheer der landsgeldmiddelen en over de verantwoording der reken-plichtige” (Badan Pemeriksa Keuangan, yang bertugas untuk melakukan pengawasan tentang pengurusan keuangan negara dan pertanggungjawaban wajib hitung. Sementara Pasal 2 “De instructie van de Kamer wordt bij algemeenen maatregel van de wijze van beheer en verantvoording der geldmiddelen van Nederlandsch Indie” ( Instruksi Badan tersebut ditetapkan dengan peraturan umum tentang pemerintahan, sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang pengurusan dan pertanggungjawaban keuangan di Hindia Belanda).
Algemene Maatregel van Bestuur adalah bentuk peraturan perundangan-undangan yang dibuat oleh Raja. Salah satu undang-undang tersebut adalah Nederlandsch Indonesische Comptabiliteitswet (Undang-undang Perbendaharaan Hindia Belanda). Pada zaman Hindia Belanda dulu terdapat badan “Algemene Rekenkamer” yang tugasnya melakukan pengawasan terhadap pengurusan keuangan negara dan tanggungjawab pejabat yang berkaitan dengan pengurusan keuangan negara sama juga halnya konsepsi Badan Pemeriksa Keuangan menurut UUD NRI 1945 versi sebelum amandemen dan UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dapat disimpulkan zaman kolonial, orde lama, dan orde baru memiliki konsepsi yang sama terhadap batasan “keuangan negara”.
Paradigma keuangan negara berubah sejak reformasi dengan lahirnya sejumlah undang-undang organik seperti: Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Penggunaan istilah “keuangan negara” terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sebelum Amandemen III UUD NRI 1945, pengertian keuangan negara hanya ditafsirkan secara sempit yaitu terbatas pada APBN, sehingga tidak tercakup Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sama sekali tidak berkaitan dengan tugas dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan.
Definisi keuangan menurut UU No. 17 Tahun 2003 “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.Pasal 3 ayat (1)UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan bahwa “pemeriksaan oleh BPK mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Keuangan Negara. Ini berarti objek pemeriksaan keuangan negara tidak hanya sebatas APBN dan APBD saja, melainkan juga meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang membawa konsekuensi pengertian keuangan negara meliputi APBN, APBD, BUMN dan BUMD.
Jika dikaitkan dengan Pasal 23 UUD NRI 1945, maka definisi keuangan negara dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 15 Tahun 2004 tidaklah tepat. Karena Pasal 23 UUD 1945 mendefinisikan keuangan negara hanyalah sebatas APBN dan APBD, sedangkan menurut UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 15 Tahun 2004 juga meliputi BUMN dan BUMD yang merupakan lahan basah yang sering dijadikan sarang oleh pihak yang berkepentingan
Sepengetahuan Penulis, definisi keuangan negara ada tidak kurang tersebar di tiga puluh titik undang-undang. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objeknya, Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kebijakan yang akan diambil oleh para pejabat yang berwenang dalam penanganan Covid-19 sebagaimana yang diatur dalam Perppu a quo berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, hal ini disebabkan Perppu a quo terlihat ingin melindungi para stakeholders dari tuntutan hukum baik secara perdata maupun pidana seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (2) “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara dikenal Detournement de pouvoir (melampaui batas kekuasaaan), dan Abuse de droit(sewenang-wenang). Penyalahgunaan kewenangan dapat diartikan dalam tiga bentuk, (1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; (2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain; (3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Persoalan mendasar dalam Perppu a quo adalah telah menyandera beberapa undang-undang yang megatur sedikit banyaknya aturan berkenaan dengan batasan-batasan ‘hitam-putih’ dari sisi hukumya. Jeratan lobang-lobang yang bisa mencengkramnya ditutupi oleh kesaktian Perppu a quo, yang telah mencabut puluhan pasal/ayat dari undang-undang formal lainnya.
Penulis berpandangan, walaupun Perppu a quo memberikan proteksi kepada pemangku kepentingan, tetap saja mereka bisa dituntut secara perdata maupun pidana. Karena dalam Perppu a quo memiliki kelemahan/kekurangan dengan tidak merincikan hal-hal berkaitan dengan langkah-langkah dan prosedur yang sewaktu-waktu yang akan ditempuh oleh pembuat kebijakan. Apalagi ada indikasi niat jahat (mens rea)
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum UI berpendapat, Pengambil kebijakan dapat dipidana bila dalam proses pengambilan kebijakan terdapat perilaku koruptif. Hal ini patut dicermati oleh aparat penegak hukum. Pengambil kebijakan tentu tidak boleh kebal dari sanksi pidana bila dalam proses pengambilan kebijakan terdapat perilaku koruptif. Perilaku koruptif yang dimaksud di sini ialah perilaku yang dapat memberi keuntungan bagi pribadinya sendiri, orang lain, atau korporasi dari pengambilan kebijakan.
Dalam melakukan proses hukum pidana terhadap seseorang yang menduduki jabatan tertentu yang terindikasi melakukan perbuatan koruptif, aparat penegak hukum harus membuktikan niat jahat dan perbuatan jahat dari orang tersebut. Bila memang ada niat dan perbuatan jahat, hukum dan sanksi pidana harus ditegakkan. Akan tetapi, bila kebijakan yang diambil ternyata salah, bahkan bila dapat dibuktikan telah merugikan keuangan negara tapi tidak ada perilaku koruptif dan niat jahat, tidak sepatutnya diproses dan dihukum secara pidana.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum dalam menegakkan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak seharusnya berfokus pada ada tidaknya kerugian negara. Adapun yang menjadi fokus ialah perilaku koruptif dari seseorang yang memiliki kewenangan, Mengapa?
Pertama, bila fokus ada pada kerugian negara, para pejabat di perusahaan swasta akan terbebas dari dakwaan UU Tipikor. Padahal perilaku koruptif bisa terjadi juga di sektor swasta. Kedua, kerugian negara bisa terjadi tidak semata karena perilaku koruptif. Kerugian negara bisa timbul karena masalah perdata, seperti wanprestasi, atau kebijakan administrasi negara.
Semoga pemangku jabatan di negeri ini tulus dalam mengurus negara dan tidak mencari kesempatan dalam kesempitan. Semoga!
*Penulis adalah Dosen Legal Drafting Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-raniry Banda Aceh.