Oleh : Tgk Dailami, M.Pd*
Mewabahnya penularan Virus Corona atau Covid-19 telah menciptakan kepanikan yang luar biasa penduduk dunia, jumlah angka pasien yang terinfeksi setiap hari terus meningkat, sehingga berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah diseluruh Negara yang terkena penularan virus ini untuk menghentikan laju penyebarannya. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi, Mesir, Kuwait dan Negara-negara Islam lainya yang sampai melarang penduduknya untuk melaksanakan shalat Jumat dan Shalat berjamaah.
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19. Fatwa ini diputuskan setelah meminta keterangan dari pihak yang tentunya berkompeten sebagai acuan dalam pertimbangan hukumnya. Kita sebut saja dalam hal ini MUI telah meminta pendapat dari dokter sekaliber Prof. Dr. Budi Sampurno, guru besar bidang Medikolegal Fakultas`Kedokteran UI yang tentunya tidak diragukan lagi kepakaran beliau dalam bidang kesehatan. Ikut juga Prof drh Wiku Adisasmito, Ketua tim pakar Satgas Covid-19. Lantas apalagi yang perlu kita ragukan dari hasil fatwa MUI tersebut.
Setelah fatwa ini dipublis ke media, beragam komentar muncul khususnya di media sosial, ada yang pro dan juga ada yang kontra. Tanggapan orang pro seperti ungkapan; ayo kita lawan Corona, jika kita bersih kita tidak akan kena virus Corona, atau ungkapan lainnya; jika kita tidak berkerumun kita tidak akan terkena virus Corona, dan lain sebagainya.dan tanggapan yang kontra seperti ungkapan; jangan jauhkan orang Islam dari Masjid, atau ugkapan jangan takut kepada Corona, takutlah kepada Allah.
Kita patut menduga bahwa mereka yang punya komentar demikian belum membaca secara untuh fatwa MUI tersebut. Komentar-komentar demikian yang seolah-olah dianggap benar tapi sebenarnya mencerminkan masih awamnya mereka dalam memahami ilmu agama secara utuh. Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa dilandasi pemahaman agama yang kuat, mereka berfatwa dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu seperti komentar tokoh-tokoh yang mencari panggung dari ummat Islam dalam wabah Corona ini.
Kalau kita baca sejarah, fenomena “ngeyel” terhadap fatwa ulama bukan hanya terjadi diera sekarang, tapi sudah sejak zaman dulu sudah ada manusia yang meremehkan fatwa ulama, sehingga seorang ulama besar bernama Ibnu Hajar al-Asqallani menyusun sebuh kitab yang beliau beri judul ”Badzlul al-Maa’un fi Fadhlit Tha’un”, untuk memfilter pemahaman masyarakat pada masa itu yang menganggap bahwa wabah itu takdir Allah dan tidak ada usaha untuk mencegahnya.
Faham Jabariyyah
Kalau kita menyimak ungkapan-ungkapan yang meremehkan fatwa ulama tersebut, kita mendapati ungkapan tersebut mencerminkan pemahaman sebuah aliran teologi dalam Islam yaitu paham Jabbariyah, sebuah ideologi dan sekte biad’ah di dalam akidah yang mincul pada abad ke-2 Hijriah di Khurasan. Jabbariyah memiliki keyakinan bahwa setiap manusia terpaksa oleh takdir tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam perbuatannya. (Wikipedia)
Inti pemahaman ideologi ini yaitu menyerahkan semua kejadian pada takdir Allah tanpa ada usaha atau Ikhtiar. Dalam masalah wabah Corona ini kita bisa dengan gamblang membaca di media bertebaran statemen dari corak berfikir kelompok ini yang menyeru supaya jangan takut kepada Corona, tapi takutlah kepada Allah, mereka menganggap bahwa semua wabah penyakit itu semata berasal dari Allah swt. Dan mereka tidak mau peduli dengan usaha untuk menghindarinya. Mereka beranggapan sekiranya mereka terkena wabah penyakit tersebut merupakan takdir dari Allah. kalau pun meninggal dunia berarti itu juga sudah takdir dari Allah. Seandainya selamat itu pun juga sudah takdir dari Allah SWT. Mereka tak peduli anjuran social distancing, cuci tangan, pakai masker, dan sebagainya.
Sejarah telah mencatat tentang bagaimana sikap dan tindakan Khalifah Umar bin Khattab dan pasukannya yang membatalkan rencananya memasuki kota Syam yang ketika itu sedang terserang wabah penyakit. Sewaktu di kota Sargh, salah seorang sahabat bernama Abu Ubaidah al-Jarrah mengkritiknya. “Akankah kita akan menghindar dari takdir Allah, wahai Amirul mukminin?” Lantas Umar bin Khattab menjawab: “Benar, Kita menghindari dari satu takdir Allah untuk kemudian menuju kepada takdirNya yang lain!”
Tentunya dari jawaban Khalifah Umar bin Khattab tersebut dapat kita ketahui bagaimana sikap dan tindakan seorang dari sahabat dekat Rasulullah yang telah dijamin surga untuknya, yang segala perkataan dan tindakannya disuruh oleh baginda Nabi Muhammad untuk kita ikuti. Seperti perkataan Nabi dalam sebuah hadis “Sahabat-sahabatku laksana bintang, maka ikuti olehmu, niscaya engkau akan terpetunjuk”.
Kita juga bisa belajar dari kisah salah seorang sahabat lain yang meninggalkan tali kekang untanya terlepas begitu saja, tanpa diikatkan di sebuah batu saat ia memasuki masjid Nabawi untuk beribadah, Lantas Rasulullah menegurnya, “Kenapa tidak kau ikat untamu itu?” Dia menjawab: “Aku serahkan untaku pada Allah, ya Rasulullah! Jika Allah menghendaki-Nya dia tetap ada bersamaku. Tapi jika Allah menghendakinya hilang, maka dia hilang dariku!” Rasulullah tersenyum dan mengatakan: “Bukan begitu caranya!” Nabi lantas mengajarkan ikhtiar dengan cara memintanya mengikat untanya, lantas Nabi bersabda: “Sekarang barulah engkau bertawakkal dan serahkan semuanya pada Allah”.
Begitulah cara Rasulullah dalam mengajarkan cara bertawakkal yang sesuai dengan sunnatullah, bukan seperi cara tawakkal yang dipahami oleh penganut paham fatalis Jabbariyah yang sama sekali tidak menghargai ilmu pengetahuan dan ikhtiar manusia. Jadi seandainya semua ikhtiar dan tawakkal sudah sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal, hasilnya tidak sesuai yang kita harapkan, barulah kita pasrah menerimanya sebagai takdir. Wallahu a’alam bissawab!!
*Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Ma’had ‘Aly Dayah Babussalam Matangkuli, Aceh Utara.