Oleh : Muhammad Ridwansyah, M.H.,*
Hak ekonomi Aceh merupakan hak dasar rakyat Aceh yang harus dilindungi oleh konstitusi, dalam UUD Tahun 1945 ada 10 pasal mengenai hak konstitusional dan adanya penjaminan akan hal tersebut. Konstitusi di Indonesia secara prinsip sudah menganut konstitusionalisme, karena konstitusionalisme merupakan satu konsep yang meguraikan bahwa suatu konstitusi mengandung dalam dirinya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara. Hal ini tentu sangat diperlukan oleh rakyat Aceh atas hak ekonominya karena paham konstitusionalisme merupakan antithesis kekuasaan yang sewenang-wenang. Rule of law digunakan untuk membatasi kesewenang-wenangan Pemerintah Pusat atas hak ekonomi Aceh yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki. Apabila masih terdapat kesewenang-wenangan dan ketidakpantasan maka hal itu merupakan penyangkalan terhadap rule of law.
Unsur yang perlu bagi konsepsi rule of law ialah bahwa hukum harus tidak sewenang-wenang atau irrasional. Karenanya penting bahwa konstitusi memuat ketentuan yang efektif untuk mengekang kesewenang-wenangan eksekutif (Pemerintah Pusat) dan legislatif (DPR). Salah satu cara memajukan konstitusionalisme adalah dengan menanamkan, hak-hak dan kebebasan rakyat yang dijamin dan dapat dituntut. Untuk tujuan iniliah dalam UUD Tahun 1945 mencoba memberikan beberapa hak kepada rakyat. Pasal 28C ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945 sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negeranya.
Artinya secara implisit, konstitusi Pemerintah Indonesia sudah menjamin hak ekonomi Aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki namun dalam tahapan implementasi yuridis di dalam UUPA tidak begitu baik dan terjadi insinkronisasi atas MoU Helsinki dengan UUPA. Hal ini akan diuraikan satu persatu ketidak konsistenan Pemerintah Pusat atas hak ekonomi Aceh.
Pertama, klausul 1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga yang berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Kesepakatan tersebut merupakan wujud dari keinginan Pemerintah Pusat dengan GAM untuk mempercepat pembangunan cepat infrastruktur fisik pasca Aceh konflik yang begitu lama. Pasal 186 UUPA menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan dan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Ketentuan ini sangat bertolak belakang dengan apa yang diamanahkan oleh MoU Helsinki, klausul 2.3.1 tidak mewajibkan harus ada persetujuan Menteri Keuangan, dan pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Secara teori, kebijakan pemerintah pusat yang tertuang pasal a quo menyilangi prinsip desentralisasi asimteris. Konsepsi pembentukan Pemerintah Aceh seharusnya tidak dalam bentuk pengikatan abadi kepada Pemerintah Pusat tetapi lebih fokus kepada kemandirian Pemerintah Aceh dalam pengelolaan hutang luar negeri. Karena pola pengelolaan hutang luar negeri akan dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan dan secara teknis mendapat persetujuan dari DPRA sekaligus pertimbangan dari Wali Nanggroe Aceh serta Majelis Permusyaratan Ulama Aceh.
Kedua, klausul 1.3.2. hak ekonomi Aceh adalah menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal resmi dan berhak juga melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh. Salah satu sumber pendapatan asli daerah adalah pajak daerah, teks MoU Helsinki ‘menetapkan dan memungut’ menjadi kata kunci untuk pengaturan pajak di Pemerintah Aceh. Akan tetapi dalam Pasal 180 UUPA bahwa pengelolaan sumber PAD Aceh dan PAD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a (pajak daerah) dan huruf b (retribusi daerah) dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan definisi kata ‘menetapkan’ adalah dengan menentukan secara sendiri oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dalam ihwal pajak daerah dan bukan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dalam artian pengaturan nasional mengenai pajak. Selayaknya dalam pasal a quo bahwa penetapan pajak itu secara pengaturannya berbeda dengan pajak nasional walaupun memang Qanun Aceh Nomor 11 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah sudah dibentuk akan tetapi subtansi pemungutannya hampir sama dengan pajak daerah lain.
Ketiga, klausul 1.3.3. bahwa Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh. Frasa ‘memiliki kewenangan atas sumber daya alam’ merupakan konsekuensi atas kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Kemudian klausul 2.3.1 diadopsi oleh Pasal 160 ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh. Jika ditelaah arti kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Apabila diklasifikasikan sumber-sumber kewenangan itu ada tiga sumber atribusi yaitu pemberian wewenang pada badan atau lembaga/pejabat Negara tertentu baik oleh UUD maupun pembentuk undang-undang. Contohnya atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membuat undang-undang. Kewenangan delegasi adalah penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan/lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Misalnya pelaksana persetujuan DPRD tentang persetujuan calon wakil kepada daerah. Yang terakhir kewenangan mandate yaitu pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh si pemberi mandate. Seperti, tanggung jawab memberi keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya. Bahwa Pasal 160 UUPA tidak menjelaskan kewenangan apa sebenarnya dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh. Bahkan dalam MoU Helsinki kewenangan atas sumber daya alam minyak dan gas hanya diperuntuk untuk Aceh tanpa mengikutsertakan Pemerintah Pusat. Seharusnya pengelolaan itu hanya mutlak oleh Pemerintah Aceh selaku penerima hak, fungsi Pemerintah Pusat hanya sebagai monitoring semata. Tetapi fakta yuridis lain kontra kerja sama saja harus ada kesepakatan bersama oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian ESDM.
Keempat, klausul 1.3.4. bahwa Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut territorial sekitar Aceh. Ketentuan ini diadopsi oleh Pasal 181 ayat (1) huruf huruf b UUPA bahwa dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam yaitu: 1)Bagian dari kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen); 2)Bagian dari perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); 3) Bagian dari pertambahan umum sebesar 80% (delapan puluh persen); 4) Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80% (delapan puluh persen); 5) Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15% (lima belas persen); dan 6) Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30% (tiga puluh persen).
Dari ketentuan di atas frasa klausul 1.3.4., 70% hasil dari cadangan hidrokarbon tidak relevan dengan pembagian dari pertambangan minyak sebesar 15% dan bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30%. Hal ini jelas, Pemerintah Pusat lagi-lagi menyimpangi kesepakatan klausul 1.3.4., tersebut, seharunya plot 70% tidak dirubah lagi apa lagi persentase 15% dari penghasil pertambangan minyak sangat meniadakan hak ekonomi rakyat Aceh. Karena kalau dicermati dalam klausul 1.3.4., tersebut diberikan kata ‘menguasai’ diartikan berkuasa atas sesuatu, menguasai juga dapat diartikan memegang kekuasaan atas suatu tertentu. Prinsip menguasai dibatasi sampai 70% atas hidrokarbon yang terkandung dalam minyak dan gas, kehutanan, dan perikanan. Tentu dibagian minyak dan gas bumi wajib ditinjau ulang karena ada hak ekonomi yang direduksi oleh Pemerintah Pusat.
Kelima, klausul 1.3.5., Aceh mempunyai hak ekonomi atas melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. Bahkan ketentuan ini tercatat dan diperintahkan oleh Pasal 254 UUPA sebagai berikut:
- Penyerahan kewenangan pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum dari Pemerintah kepada pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008.
- Pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum yang sudah ada pada saat Undang-Undang ini diungkapkan dikerjasamakan antara badan usaha milik negara, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008.
Namun hingga saat ini penyerahan kewenangan itu belum dilakukan oleh Pemerintah Pusat, semua pelabuhan udara seperti Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Bandara Rembele, Bandara Patiambang Blangkejeren, Bandar Udara Malikussaleh, dan Bandar Udara Alas Leuser, semua dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini PT. Angkasa Pura II, dan Kementerian Perhubungan RI, tidak satu pun hak pengelolaan diberikan kepada Pemerintah Aceh. Seharusnya hak ekonomi Aceh atas pembangunan dan pengelolaan Bandar udara dan Bandar laut sepenuhnya untuk Pemerintah Aceh. Bahkan diprediksikan peluang yang besar atas pengelolaan dapat menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Tetapi implementasi yuridisnya sangat disayangkan, ibaratnya harta karun sudah diberikan tetapi kuncinya tidak diberikan kepada pihak semestinya, diberikan kepada pihak lain.
Dari sekian banyak hak ekonomi yang diamanahkan oleh MoU Helsinki dan sebagiannya yang diadopsi oleh UUPA ternyata banyak yang bertabrakan atau bahkan tidak selaras dengan semangat MoU tersebut. Hak sejatinya tidak boleh dicampuri oleh siapapun dan berdiri kokoh sendiri, begitu juga mengenai hak ekonomi Aceh.
*Penulis merupakan Kepala Departemen Hukum, HAM dan Keamanan – DPA Muda Seudang Aceh, Peneliti Senior Wain Advisory Indonesia dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Aceh, sekaligus Staf Ahli Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia TA 2018 .