SinarPost.com, Teheran – Perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dengan Republik Islam Iran sepertinya tidak akan ada habisnya. Potensi perang terbuka antara kedua negara besar ini tetap terbuka lebar.
Belum lupa diingataan akan konflik yang hampir berujung perang terbuka di kawasan Teluk Persia beberapa waktu lalu, kini konflik kedua negara yang memiliki kekuatan militer mumpuni ini berlanjut ke Irak. Sebelumnya konflik antara Iran dan AS berada diujung nadi setelah pasukan Iran menembak jatuh drone militer super canggih AS di atas Teluk Persia. Iran secara tidak langsung juga berperang dengan AS dan Israel di Suriah.
Sekarang retorika perang antara AS dan Iran meluas ke Irak. Konflik ini berawal saat milisi syiah Irak, Kata’ib Hizbullah yang berafiliasi dengan Iran menyerang panggkalan militer yang ditempati pasukan AS dengan 30 roket. Dalam serangan ini, seorang kontraktor sipil AS tewas dan melukai sejumlah tentara negara Adidaya itu. Merespon serangan tersebut, AS membalas dengan menyerbu basis-basis kelompok Kata’ib Hizbullah lewat serangan udara pada Jumat pekan lalu yang menewaskan 25 milisi.
Kemudian, ribuan warga Irak yang pro dengan kelompok milisi Kata’ib Hizbullah melakukan demonstrasi dengan mengepung Kedutaan Besar AS di Baghdad. Aksi demonstran ini berujung kerusuhan dengan membakar dan merusak Kedubes AS hingga para staf dan diplomatnya dievakuasi ke tempat lain yang dianggap aman. Washington menuding Iran berada dibalik aksi penyerangan Kedubesnya oleh demonstran, tuduhan yang dibantah tegas oleh Teheran.
Presiden AS, Donald Trump menuduh Iran berada di balik demonstrasi di kedutaan AS di Irak dan mengatakan Teheran akan mebayar mahal jika ada warga AS yang menjadi korban dalam demonstrasi tersebut.
Menanggapi ancaman Washington, Komandan Garda Revolusi Iran (IRGC), Brigadir Jenderal Hossein Salami mendikte Donald Trump agar berbicara dengan benar. Salami mengatakan bahwa negaranya tidak ingin berperang dengan negara manapun, termasuk Amerika Serikat (AS). Meski demikian, ia menegaskan bahwa Iran akan merespon penuh jika diserang.
“Kami tidak memimpin negara untuk berperang, tetapi kami tidak takut akan perang dan kami meminta Amerika untuk berbicara dengan benar dengan bangsa Iran. Kami memiliki kekuatan untuk menghancurkan mereka beberapa kali,” kata Salami, seperti dilansir Reuters, Kamis (2/1/2020).
Iran, meski di atas kertas, kekuatan militernya kalah jauh dari AS, namun diprediksi tetap mampu meruntuhkan pangkalan militer AS yang tersebar di seluruh Timur Tengah. Iran diketahui memiliki armada rudal terbesar keempat di dunia setelah AS, Rusia dan China. Ada ratusan ribu rudal berpresisi tinggi yang dimiliki Iran dengan berbagai tipe dan memiliki jarak tembak lebih 2000 km. Sesuatu yang sangat ditakuti oleh AS dan Israel.
Selain itu, Iran juga memiliki sekutu milisi syi’ahnya yang kuat secara militer di Timur Tengah, seperti Hizbullah di Libanon, Hauthi di Yaman, kelompok milisi syi’ah di Irak, dan di Suriah. Bahkan Kelompok Hamas di Jalur Gaza, Palestina juga bisa dimanfaatkan untuk menyerang Israel, sekutu utama sekaligus anak emas AS di Timur Tengah. Ini lah alasan kenapa Amerika hanya mengumbar retorika perang dengan Iran, tanpa secara nyata berani menyerang negara Para Mullah itu sebagaimana yang dilakukan terhadap Irak era Saddam Husein dan Afghanistan saat dikuasai Taliban.