Oleh : Nailis Wildany*
Provinsi Aceh adalah bagian dari kesultanan adikuasa masa lampau, yakni Kesultanan Aceh Darusalam yang merupakan salah satu Kerajaan Islam terbesar di semenanjung Melayu. Kesultanan Aceh termasuk yang terkuat di Nusantara pada masanya, Jendral Kohler adalah buktinya. Panglima Angkatan Perang Belanda dalam Agresi Pertama menundukkan Istana Sultan Aceh pada tahun 1873 tewas di tangan tentara Sultan Alaiddin Mahmudsyah. Kekuatan Kerajaan Aceh adalah Iman dan Islam, yang penduduknya disamping agamis juga tunduk patuh terhadap pemimpinnya.
Selalu menarik membahas sejarah Aceh karena kekuatannya yang tak terkalahkan, bahkan merdekanya Republik Indonesia juga tidak terlepas dari kontribusi besar rakyat yang mendiami wilayah paling barat Pulau Sumatera ini. Lewat Radio Rimba Raya, rakyat Aceh telah menyelematkan Indonesia dalam agresi Belanda II. Sebagai ganjarannya, Pemerintah Indonesia mengistimewakan Aceh dalam banyak hal. Keistimewaan itu termuat rapi dalam UUPA (Undang-Undang Pemerintah Aceh). Keistimewaan Aceh yang paling disadari seantero Indonesia adalah dalam segi penerapan syariat Islam.
Bicara Aceh, artinya bicara Islam serta penerapan syariat Islam di tanah Iskandar Muda. Populasi muslim di Aceh berdasarkan sensus 2010 adalah sebesar 3.796.027 jiwa atau 98,6 % dari total penduduk (data ini mengacu pada sumber BPS Provinsi 2010), sementara sisanya adalah non-Muslim. Dengan populasi non-muslim kurang dari 2% bagaimana nasib mereka di Serambi Mekkah tersebut? Apakah mereka merasa diasingkan atau bahkan merasa terdhalimi dan terdiskriminasi sebagai minoritas?
“Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam” (QS.2 : 256) adalah potongan Firman Allah yang menjadi pegangan seluruh kaum muslimin dalam berdakwah dan bersikap, sehingga mereka lebih lembut dalam berdakwah serta tidak memaksa. Begitu pula dengan masyarakat Aceh, meski populasi non-Muslim kurang dari 2% dari total penduduk tapi mereka tetap hidup rukun berdampingan tanpa diskriminasi. Aceh tidak mengenal isu SARA (Suku, Agama, dan Ras), karna asal usul masyarakat Aceh dari berbagai bangsa serta budaya yang plural sehingga sangat toleran dan tidak rasis.
Sama halnya dalam beragama, mereka terbilang cukup terbuka menerima perbedaan keyakinan. Di ibu kota Provinsi Aceh terdapat beberapa tempat ibadah non-muslim seperti geraja dan wihara, pun di kota lain seperti Lhokseumawe dan Meulaboh kita juga bisa menemukannya. Ini menandakan bahwa masyarakat Aceh cukup bisa menerima kehadiran non-Muslim di tengah-tengah mereka.
Dalam hal penegakan aturan Islam pun tidak berlaku bagi non-Muslim. Jika non-Muslim berzina, ia tidak akan dicambuk seperti masyarakat Aceh lainnya. Dalam hal menentukan sanksi dan hukuman, di wilayah Daud Beureueh ini ditinjau pula agamanya. Aturan seperti ini sudah tidak tabu lagi di Aceh, karna ini sudah berlaku sejak abad ke 17 yaitu pada masa Sultan Iskandar Muda menjabat sebagai Raja. Pada masa ratu Safiyyat al-Din, minum khamar adalah suatu aktifitas yang dilarang keras bagi masyarakat Aceh, namun pelarangan tersebut tidak berlaku bagi warga non-Muslim. Ketika itu, berbagai aturan ketat diterapkan dalam memproduksi dan menjual minuman keras. Di kalangan non-Muslim tersebut hanya yang mendapatkan lisesnsi dari penguasa saja yang boleh memproduksi dan memperjual belikan arak (Muji Mulia;2018).
Namun realita yang kita temukan dilapangan tetap saja ada konflik yang berbau agama yang terjadi di Aceh. Masyarakat Aceh sangat sensitif terkait isu ini, sehingga terkadang politis bahkan mengkambing hitamkan agama. Menurut yang penulis amati, masyarakat Aceh cukup menolerir masyarakat non-Muslim yang tentu saja berbeda keyakinan dengannya, namun sangat kurang bertoleransi terhadap saudaranya yang sesama Islam yang sedikit beda pemahaman atau tata cara beribadah. Secara garis besar ada tiga golongan Islam yang paling mendominasi di Aceh, yaitu golongan Salafi, Muhamadiyah, serta Jamaah Tabligh.
Ketiga golongan tersebut saling menjustifikasi kesalahan dan cenderung tidak menolerir perbedaan, padahal ketiganya memiliki dasar dalil masing-masing yang tidak bisa dihukumi salah. Masyarakat Aceh yang mayoritas bermazhab Syafi’i cenderung tidak senang dengan pendatang yang bermazhab selain Syafi’i. Masalah seperti qunut saat shalat subuh serta jumlah rakaat shalat tarawih adalah masalah yang seperti tidak ada titik temu, dan memantik perpecahan. Padahal jika kita berkaca pada sejarah, Imam Syafi’i pun berbeda pendapat dengan gurunya yaitu Imam Malik namun tetap hangat layaknya murid dan guru lainnya.
Sikap toleransi terhadap non-Muslim adalah sikap yang sangat bagus dan patut dipertahankan di kalangan masyarakat Aceh, namun sikap menolerir saudaranya sesama Muslim inilah yang masih kurang di bumi Iskandar Muda saat ini. Semua merasa benar, padahal belum tentu juga yang lain salah, setiap golongan tentu memiliki landasan dalil masing-masing. Sangat disayangkan jika kita bisa berdamai dengan musuh tapi malah melakukan perang dengan saudara sendiri. Alangkah baiknya masyarakat Aceh berfikiran lebih terbuka dalam hal ini, karna dari golongan manapun, agamanya tetap Islam, Tuhannya tetap Allah, Nabinya tetap baginda Muhammad, kitabnya tetap Al-Quran, dan sama-sama percaya akan datangnya hari pembalasan. Aqidah tetap sama, hanya tata cara ibadah yang sedikit berbeda. Semoga rahmat Allah senantiasa bersama masyarakat Aceh!
*Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.