SINARPOST.COM, BANDA ACEH – Petinggi Partai Aceh (PA) Kamaruddin Abubakar atau akrab disapa Abu Razak angkat suara terkait pernyataan Senator asal Aceh, Ghazali Abbas Adan baru-baru ini yang mengkritisi alokasi anggaran pada APBA 2020 sebesar Rp 32 milyar untuk Lembaga Wali Nanggroe yang dipimpin Paduka Yang Mulia (PYM) Wali Nanggroe Tgk Malek Mahmud Al Haytar.
Pernyataan Ghazali Abbas yang dimuat salah satu media di Aceh menyindir alokasi anggaran tersebut, yang menurutnya sangat boros dan diperuntukkan untuk orang yang tidak jelas kerjanya. Ghazali Abbas juga menyebutkan, uang rakyat sebanyak itu digunakan untuk kebutuhan rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah.
“Luar biasa, Aceh daerah yang ditempatkan pada ranking pertama paling miskin se Sematera dan ranking keenam di Indonesia, tapi begitu boros mengeluarkan anggaran untuk orang yang tidak jelas kerjanya, yakni setahun mencapai Rp 32 milyar, yang berarti setiap bulannya lebih kurang Rp 2,5 milyar rupiah,” sebut Ghazali Abbas.
“Yang menjadi tanda tanya besar adalah dengan siapa dilakukan koordinasi dan ke luar daerah mana melakukan konsultasi dan apa manfaat dan kemaslahatan yang didapatkan rakyat dari rapat-rapat dan koordinasi ke luar daerah itu,” sebutnya lagi, menyindir.
Menurut Abu Razak, pernyataan Ghazali Abbas yang mengkritik soal alokasi anggaran untuk Wali Nanggroe Tgk Malek Mahmud Al Haytar tersebut adalah hal yang keliru. Apa yang disampaikan Anggota DPD RI asal Aceh itu, lanjut Abu Razak, terkesan sangat tendensius dan kurang etis. “Jika menyimak dari uraian Ghazali Abbas, seakan-seakan Wali Nanggroe (WN) secara pribadi yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah tiap bulannya, ini sesuatu yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang politisi senior,” ujar Abu Raza dalam keterangan tertulis yang dikerim ke SinarPost.com, Kamis (26/9/2019).
Untuk dimaklumi, pengelolaan anggaran di Lembaga Wali Nanggroe itu sepenuhnya dikelola oleh Keurukon Khatibul Wall sebagai Lembaga Sekretariat yang memiliki tupoksi menyelenggarakan seluruh layanan bersifat administratif guna mendukung tugas-tugas Wali Nanggroe. Sama halnya dengan perangkat kerja lainnya dalam Pemerintah Aceh, Lembaga WN yang dibentuk sebagal wujud kewenangan khusus yang diberikan kepada Aceh pasca perdamaian, juga menjalankan tugas dan fungsinya. Salah satunya adalah ikut menjadi pemersatu rakyat Aceh, termasuk membina kelembagaan adat yang ada di Aceh.
Dalam sudut pandang Abu Razak, bidang/sektor adat juga tidak kalah pentingnya dibanding sektor-sektor lain. “Bukankah kita pahami bagaimana pentingnya kedudukan pembinaan adat di Aceh kita. Matee aneuk meupat jrat, matee adat pat ta mita,” tegas Abu Razak.
Disebutnya, anggaran pada Lembaga WN itu dikelola dengan aturan yang berlaku. Terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Komponen belanja terbesar adalah untuk belanja langsung yang mencapai 70 persen. Sementara belanja tidak langsung sebesar 30 persen.
“Yang 30 persen ini selain untuk tunjangan WN juga untuk gaji aparatur pemerintah dan perangkat Lembaga WN seperti Majelis Tuha Peut, Majelis Tuha Lapan, dan Majelis Fatwa yang jumlahnya sebanyak 88 orang. Dalam Majelis Tuha Peut dan Majelis Fatwa tersebut terdiri dan para Ulama utusan dari 23 kabupaten/kota. Belanja langsung itu sendiri yang terpenting digunakan untuk pelestarian dan pembinaan adat-istiadat, pemberdayaan perangkat Lembaga WN, pengembangan nilai budaya, pengelolaan kekayaan budaya, dan pengelolaan keragaman budaya,” jelas Abu Razak.
“Jadi tidak benar pernyataan Ghazali Abbas Adan yang menyebut bahwa Rp 32 milyar dalam APBA 2020 itu untuk Malek Mahmud,” tegas Abu Razak. “Ghazali Abbas harus ingat bahwa Wali Nanggroe Malek Mahmud Al Haytar tidak pernah menggunakan anggaran sesuka hatinya, apalagi sampai menabrak aturan perundang-undangan yang berlaku di Republik ini,” demikian pungkas Abu Razak.