SinarPost.com, Banda Aceh – Sebanyak lima Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyatakan menolak Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun Anggaran 2020 untuk ditetapkan menjadi Qanun Aceh. Sementara empat sisa fraksi lainnya menyatakan menerima.
Adapun fraksi-fraksi di DPRA yang menolak pertanggungjawaban pelaksanaan APBA tahun 2020 yaitu Fraksi Partai Aceh (PA), Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Nanggroe Aceh (PNA).
Sementara fraksi yang menerima yaitu Fraksi Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa – Partai Daerah Aceh (PKB/PDA) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada menilai penolakan mayoritas fraksi di DPRA terhadap LKPJ Gubernur Aceh meski tidak memiliki konsekuensi hukum, namun efek penolakan ini memiliki dampak secara sosial politik sangat besar bagi rezim Nova Iriansyah.
Dari sisi politik, menurut Aryos, relasi eksekutif dan mayoritas partai di legislatif akan semakin memburuk paska adanya penolakan LKPJ. Tidak sampai disitu saja, manuver-manuver dewan akan semakin kencang kedepadannya.
“Meski dampak hukum sangat minimal namun efek penolakan ini memiliki dampak sosial politik yang sangat besar sekali bagi Gubernur Nova Iriansyah. Terutama ketika LKPJ Gubernur Aceh ditolak secara tegas oleh mayoritas fraksi yang memiliki suara signifikan di DPRA,” ujar Aryos kepada SinarPost.com, Sabtu (21/8/2021).
Menurut Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif (JSI) itu, efek secara politik akan membuka ruang bagi partai-partai untuk semakin menekan Nova. Disini menunjukkan relasi legislatif dan eksekutif akan semakin memburuk kedepannya. Tidak menutup kemungkinan ekses dari penolakannya ini akan berbuntut pada penggunaan hak angket kembali.
“Juga akan timbul gerakan manuver menghantam eksekutif dengan berbagai cara yang akan dilakukan DPRA. Ruang-ruang ini pasti akan terbuka lebar kedepan dilihat pada langgam politik saat ini,” ungkap Aryos.
Sedangkan dari sisi sosial, tambah Aryos, trust atau kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah Aceh dibawah rezim kepemimpinan Nova Iriansyah akan semakin merosot. Namun disaat bersamaan, akan timbul efek positif bagi parpol yang menolak LKPJ Gubenur secara kelembagaan partainya. Sementara itu sebaliknya, citra parpol yang menerima LKPJ dianggap tidak pro rakyat dan bisa saja akan berdampak pada penurunan suara pemilu akan datang.
“Dari perpektif sosial, partai menolak LKPJ Gubernur akan dinilai memahami kegelisahan masyarakat Aceh saat ini terkait kinerja pemerintah Aceh. Masyarakat beranggapan pastinya DPRA menolak LKPJ karena berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Aryos.
“Seperti laporan BPK, maupun evaluasi di lapangan. Partai-partai ini dinilai mengedepankan prinsip-prinsip bekerja yang baik dan benar. Sedangkan bagi partai yang menerima LKPJ jelas akan mempengaruhi imej partai yang berbuntut pada kepercayaan atau trust masyarakat kepada partai. Tidak tertutup kemungkinan berdampak pada penurunan suara ketika momen pemilu mendatang,” sebut Aryos.
Sekedar informasi, sebanyak 52 Anggota DPRA dari lima Fraksi menolak LKPJ APBA 2020, sementara 29 Anggota DPRA lainya dari empat Fraksi menyatakan menerima. Rincianya fraksi yang menolak, yaitu Fraksi Partai Aceh 21 kursi, Gerindra 8 kursi, Golkar 9 kursi, PNA 6 kursi, dan PPP 8 kursi. Sementara fraksi yang menerima, yaitu Fraksi Demokrat 10 kursi, Fraksi PAN 6 kursi, PKS 6 kursi dan Fraksi PKB/PDA 7 kursi (namun informasi yang berkembang hanya 5 yang menerima, sementara Wahyu A Wahab dan Nektu menolak).
Kembali ke Aryos, dari sisi hukum Aryos menjelaskan, sejak pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan DPRD terkait dengan pertanggungjawaban Gubernur sebagai kepala derah dalam melaksanakan APBD sebagian telah diamputasi.
Perubahan dari Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) menjadi Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Derah memberikan konsekuensi bahwa DPRD sudah tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberhentikan Kepala Daerah dengan alasan LKPJ-nya ditolak. Hal ini dikuatkan oleh Penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf K UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Disebutkan : Laporan keterangan pertanggungjawaban merupakan laporan kemajuan pelaksanan pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan gubernur.
Menurut Aryos, politik hukum pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No. 23 Tahun 2014 lebih menegaskan konsep pertanggungjawaban Kepala Daerah melalui Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah Pusat, LKPJ kepada DPRD, dan Ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat secara langsung.
Di mana, dari ketika laporan pertanggungajwaban yang tersebut terkait evaluasi sangat didominasi Pemerintah Pusat yang dapat melakukan pembinaan, sedangkan LKPJ kepada DPRD bentuk evaluasinya hanya rekomendasi dan catatan yang bersifat saran.
Adapun LPPD wajib disampaikan kepada pemerintah pusat (pasal 27 ayat 2 UU 32/2004). Gubernur menyampaikan LPPD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (pasal 27 ayat 3 UU 32/2004). Mengenai sanksi kepatuhan kepala daerah terhad LPPD ditetapkan oleh Presiden yang dikeluarkan oleh menteri untuk daerah provinsi sebagaimana diatur dalam PP No. 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
“Jadi apapun yang dihasilkan dan ditemukan oleh Pansus LKPJ, DPRA sebenarnya tidak bisa menolak LKPJ Gubernur. Namun hanya sebatas membuat rekomendasi. Dalam UU 23 tahun 2014, cukup jelas bahwa LKPJ yang disampaikan kepala daerah bersifat laporan. Sehingga telah merubah tatacara laporan kepala daerah dalam memberikan pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada DPRD,” tutup Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala (USK) itu.