SINARPOST.COM, ACEH BESAR – Juanda Djamal tentu bukanlah nama yang asing bagi masyarakat Aceh Besar, termasuk bagi kebanyakan orang Aceh, terlebih di kalangan para aktivis dan akademisi. Latar belakangnya sebagai aktivis dan pegiat sosial, membuatnya kerap tampil di berbagai forum sebagai pembicara.
Pasca perdamaian Aceh, pendiri Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) itu kerap diundang ke berbagai forum nasional hingga manca negara sebagai pembicara untuk mempresentasikan pembelajaran proses perdamaian Aceh dalam perspektif masyarakat sipil. Juanda Djamal juga dipercaya menjadi konsultan perdamaian skala regional yang mengurusi perdamaian di negara-negara konflik seperti Pattani (Thailand), Moro (Filipina), dan lain sebagainya.
Pada tahun 2017, Juanda Djamal mulai terjun ke dunia politik praktis dan terlibat langsung dalam pertarungan Pilkada Aceh Besar. Kiprahnya di ranah sosial dan pengalamannya sebagai aktivis, Juanda Djamal dipercayakan sebagai calon Wakil Bupati Aceh Besar periode 2017-2022 untuk mendampingi Saifuddin Yahya (Pak Cek) yang diusung oleh Partai Aceh (PA) dan koalisinya.
Namun dalam pertarungan tersebut, pasangan Pak Cek-Juanda Djamal kalah dari pasangan Mawardi Ali-Waled Husaini, sehingga ia gagal ke Jantho sebagai orang nomor dua di Aceh Besar. Meski keterlibatan dalam ranah politik praktis tergolong baru, namun sebagai orang yang “kenyang” akan pengalaman dengan berbagai dinamika politik yang membelit negeri ini, tentu kekalahan tersebut bukanlah masalah besarnya. Mungkin bagi Juanda Djamal, kekalahan di Pilkada 2017 adalah langkah awalnya untuk sebuah “pergerakan” baru dalam membangun Aceh Besar.
Hal tersebut benar adanya. Pada Pileg 2019, Juanda Djamal maju sebagai calon anggota Dewan perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Besar melalui Partai Aceh. Secara kasat mata, namanya yang sudah dikenal luas oleh kalangan masyarakat, memenangi kursi DPRK bukanlah perkara sulit baginya, dan hal ini terbukti dimana Juanda Djamal sukses mengamankan kursi DPRK Aceh Besar untuk periode lima tahun ke depan.
Juanda Djamal, bersama 34 Anggota DPRK Aceh Besar lainnya hasil Pileg 17 April lalu telah resmi dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Jantho Hj. Tuty Angreini SH MH pada Selasa (20/8/2019) kemerin, di Kota Jantho. Kini Juanda Djamal telah resmi berkantor di Jantho sebagai wakil rakyat.
Sosok seperti Juanda Djamal, keberadaannya tentu diharapkan akan mampu memberi warna di Parlemen Aceh Besar. Seorang anggota Dewan pada prinsipnya tidak bisa membuat hal besar karena penggunaan anggaran dan kebijakan berada di tangan Eksekutif, akan tetapi keberadaan orang-orang cerdas yang memiliki nalar kritis dan solutif di Parlemen setidaknya akan menjadi pihak pertama yang melakukan “kontrol sosial” berkaitan dengan anggaran dan kebijakan, sehingga aspirasi masyarakat bisa termanifestasi lewat pengawasan terhadap kebijakan Pemeritah Aceh Besar yang berpihak kepada pembangunan dan kesejahteraan.
Hal tersebut pada prinsipnya akan selaras dengan pernyataan Wakil Bupati Aceh Besar, Waled Husaini baru-baru ini, yang meminta Legislatif supaya mengkritik pihak Eksekutif. Tentunya, permintaan ini sangat beralasan, dimana banyak pihak menilai dalam dua tahun terakhir peran dan fungsi legislatif masih kurang menjadi penyeimbang (balancing), baik dalam legislasi, penganggaran dan pengawasan. Bila Eksekutif berjalan sendiri, sesuka hati, tanpa ada kritik dan kontrol dari Legislatif, tentunya kondisi ini akan memberi dampak serius terhadap pembangunan Aceh Besar.