SinarPost.com, Banda Aceh – Forum Jurnalis Aceh (FJA) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan mengangkat tema “Menyorot Hubungan Eksekutif-Legislatif di Aceh: Dari Laporan ke KPK Hingga Rujuk untuk APBA, Adendum Kontrak Tahun Jamak, Hingga Pengusulan Pokok Pikiran”.
FGD berlangsung di Sekretariat FJA, Rumoh Aceh Tibang, Banda Aceh, Senin (30/11/2020). Diskusi yang dipandu Sekjen FJA Ahmad Mirza Safwandy (founder aceHTrend) menghadirkan narasumber Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Aceh Ali Basrah, dan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Taqwaddin. FGD yang berlangsung secara terbatas ini turut dihadiri unsur jurnalis dari FJA, praktisi hukum dan akademisi.
Ketua Umum FJA, yang juga founder Modus Aceh, Muhammad Saleh dalam pengantarnya menyambut baik islah antara DPRA dan Pemerintah Aceh hari ini, meski sebelumnya diketahui terjadi perseteruan yang begitu panas hingga DPRA membatalkan MoU proyek Multy Years Contract (MYC) dan puncaknya ketika DPRA menggunakan Hak Interpelasi dan Hak Angket terhadap Gubernur Aceh Nova Iriansyah.
Saleh menekankan, FGD yang dilaksanakan FJA terkait tema yang diangkat tak lepas dari sengkarut proyek Multy Years senilai Rp 2,7 triliun yang tetap ditender meskipun telah dibatalkan oleh DPRA beberapa waktu lalu. Saleh mempertanyakan aspek hukum dan prosedur dari tender proyek Multy Years yang sudah berjalan tersebut. Apakah dalam hal ini proses tender tersebut bermasalah atau tidak. Jangan nanti ada celah KPK masuk ke Aceh meski proyek Multy Years sudah di adendum dan telah disetujui DPRA untuk dilaksanakan tahun 2021 dan 2022.
Ali Basrah, Ketua Fraksi Partai Golkar yang juga Anggota Banggar DPRA dalam pemaparannya menyampaikan bahwa DPRA mempunyai tiga kewenangan yang diatur oleh UU, yakni Penganggaran, Regulasi, dan Pengawasan. “Tiga kewenangan ini lah yang menyambungkan kemitraan DPRA dengan Eksekutif. Namun dari tiga kewenangan itu hanya satu yang bisa dijalankan DPRA secara independen, yaitu fungsi pengawasan. Sementara dua lagi DPR tidak bisa berjalan independen, karena dibahas bersama dengan tetap mempertimbangkan usulan dari Eksekutif,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ali Basrah tidak menampik bahwa proyek Multy Years memang ada masalah saat itu karena tidak ada pembahasan di Komisi V. “Karena itu Fraksi Golkar ikut mendukung dibatalkannya MoU Proyek Multy Years saat itu. MoU dibatalkan ya, bukan proyeknya,” kata Ali Basrah, memperjelas. “Dibatalkan bersama dan diajukan pembahasan kembali. Itu yang diputuskan DPRA saat paripurna pembatalan,” sambungnya.
Dalam hal fungsi pengawasan, lanjut Ali Basrah, DPRA telah menggunakan kewenangan tersebut secara independen hingga sampai pada tahap Interpelasi dan Angket. “Menggunakan Hak Interpelasi dan Angket, ini sudah kita gunakan. Soal Angket sudah dikembalikan ke Badan Musyawarah (Banmus) saat paripurna beberapa waktu lalu, untuk kelanjutannya kita tunggu informasi dari Banmus,” ungkapnya.
Dalam hal ini, kata Ali Basrah, ada pelajaran yang bisa dipetik dan bisa jadi rujukan bagi daerah lain, bahwa saat DPRA menggunakan haknya, maka saat itu Eksekutif menyadari bahwa ada kekeliruan yang telah dilakukan selama ini, “sehingga dengannya Eksekutif – dalam hal ini Gubernur Aceh – menyadari bahwa ia tidak bisa berjalan seenak maunya sendiri dalam menggunakan uang rakyat, harus ada persetujuan bersama dengan DPR sebagaimana amanah undang-undang,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Ombudsman Aceh, Taqwaddin, dalam pemaparannya mengatakan, dalam pemerintahan (Eksekutif dan Legislatif) sering kali menimbulkan konflik bukan disebabkan masalah hukum, tapi karena masalah komunikasi yang buruk. “Konflik yang terjadi antara DPRA dan Gubernur Aceh saat itu karena komunikasi tidak jalan. Diundang ke Paripurna tidak datang-datang, ini yang menjadi masalah saat itu,” kata Taqwaddin, mengawali diskusinya.
Dalam perspektif keilmuan, lanjut Taqwaddin, Eksekutif dan Legislatif harus mengetahui betul masalah kebijakan publik. “Karena orientasinya adalah kepentingan publik, maka kebijakan publik ini, penggunaan uang publik, harus dikomunikasikan. Misalnya Dana Refocusing, apakah DPRA mengetahui detailnya kemana saja peruntukan, berapa jumlah penerima bansos. Dalam hal ini yang menimbulkan masalah karena tidak adanya komunikasi dan transparansi dari Eksekutif terhadap mitranya Legislatif. Maka dari itu komunikasi ini sangat penting,” tegasnya.
Dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu menambahkan, ada konsekuensi yang sangat serius yang harus diterima akibat komunikasi buruk yang dipertontonkan Eksekutif selama ini, yaitu munculnya kecurigaan publik sehingga menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah.
Terkait proyek Multy Years berupa belasan rua jalan, Taqwaddin tidak menampik bahwa itu sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di pedalaman Aceh. Proyek jalan “jaring laba-laba” ini, kata Taqwaddin, sejatinya sudah digodok sejak masa Ibrahim Hasan, kemudian sempat dilanjutkan masa Abdullah Puteh, namun terhenti dan baru hari ini mau digerakkan lagi.
“Jadi akses jalan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedalaman Aceh. Kemudian muncul polemik di DPRA sehingga sempat dibatalkan, karena ada administrasinya yang tidak beres, itu yang jadi masalahnya. Dan ini bagus supaya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” sebut Taqwaddin.
Kepala Ombudsman Aceh ini mengharapkan agar elite Pemerintahan di Aceh membangun komunikasi yang baik dan saling percaya agar pembangunan Aceh dapat berjalan dengan baik. “Kalau antar elite tidak komunikatif, peluang-peluang yang sangat besar dari Pusat terabaikan. Kalau hanya ribut dengan APBA terus, kita tidak sempat berfikir lagi tentang kepentingan Aceh yang lebih besar yang bisa dijemput dari Pemerintah Pusat,” pungkasnya.