SinarPost.com – Pasukan militer Azerbaijan dan Armenia terlibat perang sengit di Nagorno-Karabakh, wilayah yang disengketakan kedua negara itu. Pertempuran yang melibatkan senjata berat telah meletus sejak hari Minggu lalu.
Kematian tentara dan masyarakat sipil telah dilaporkan dari kedua sisi. Eskalasi konflik bersenjata antara dua negara bertetangga ini merupakan yang terburuk sejak 2016. Nagorno-Karabakh adalah wilayah yang memisahkan diri dari Azerbaijan, dengan mayoritas penduduknya beretnis Armenia. Kedua negara kerap terlibat atas wilayah yang disengketakan itu.
Dilansir Al Jazeera, sebagian besar komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, Rusia, Iran dan kekuatan Eropa, telah menyerukan Armenia dan Azerbaijan untuk mengakhiri pertempuran dan dimulainya pembicaraan damai. Namun sejauh ini kedua negara belum merespon seruan komunitas internasional itu.
Bersiap untuk Perang Panjang
Pemerintah Armenia dilaporkan telah bersiap untuk perang yang panjang di Nagorno-Karabakh. Penasehat Perdana Menteri Armenia, Vagarshak Harutyunyan memperingatkan pertikaian yang sedang berlangsung atas sengketa Nagorno-Karabakh tidak mungkin berakhir dengan serangan kilat.
Dia mengatakan negaranya sedang mempersiapkan perang yang berlarut-larut. Peringatan itu disampaikan Pemerintah Armenia di tengah tudingan bahwa Turki telah ikut campur dengan membantu pasukan Azerbaijan di wilayah tersebut. Bahkan Penasihat PM Armenia itu menyebut Turki sebagai ‘terminator regional’.
“Kami sedang mempersiapkan perang jangka panjang. Mengapa? Karena, saya katakan sekali lagi, pemain utama di sini bukan Azerbaijan tetapi Turki,” kata Vagarshak, kepada saluran YouTube Latvia, sebagaimana dilansir Russia Today, Senin (28/9/2020).
Turki adalah mitra dekat Baku (Azerbaijan) dan musuh historis bagi Yerevan (Armenia), yang disinyalir oleh Pemerintah Armenia “terlibat langsung” dalam konflik atas Nagorno-Karabakh, sebuah wilayah Azerbaijan yang membangkang dengan mayoritas penduduknya etnis Armenia.
Pertempuran sengit meletus di perbatasan wilayah yang disengketakan pada hari Minggu, dengan pasukan Armenia dan Azeri menggunakan persenjataan berat, artileri kaliber besar, dan pesawat tempur dalam bentrokan tersebut.
Harutyunyan, mantan Menteri Pertahanan Armenia, berbicara tentang panggilan wajib militer universal yang baru-baru ini dikeluarkan di negaranya sendiri serta di Nagorno-Karabakh, yang menunjukkan bahwa dia tidak yakin konflik akan berakhir dalam waktu dekat.
Ajudan PM telah mengkritik Turki lebih lanjut, menyarankan mereka menggunakan Azerbaijan dan “mendorongnya ke arah perang untuk mencapai tujuan geopolitiknya di wilayah ini.” Ankara “berperilaku seperti terminator regional, dan praktis berperang dengan semua tetangganya,” kata Harutyunyan.
Tuduhan Armenia atas keterlibatan Turki dikecam oleh Azerbaijan. Baku menyatakan tidak ada keterlibatan pihak asing dalam konflik tersebut. “Tidak ada campur tangan asing,” kata Menteri Luar Negeri Azerbaijan Jeyhun Bayramov kepada kantor berita Rusia, RIA Novosti.
Turki sendiri telah menyatakan dukungan terhadap Baku sejak pertempuran di perbatasan dimulai, dengan para pejabat tinggi tidak memberikan “pukulan” ketika harus menyalahkan Armenia karena meningkatkan konflik di Nagorno-Karabakh.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengatakan “pendudukan” Armenia di Nagorno-Karabakh – yang ia gambarkan sebagai “tanah Azerbaijan” – harus diakhiri untuk mengamankan perdamaian di wilayah tersebut.
Sejauh ini, belum ada bukti dukungan material yang diberikan oleh Turki. Namun, Yerevan mengklaim Turki telah mengangkut sekitar 4.000 militan Suriah ke Azerbaijan untuk membantunya mendapatkan keunggulan di Nagorno-Karabakh.
Azerbaijan menepis tuduhan tersebut, dan balik menuduh musuh bebuyutannya itu menyalurkan “militan etnis Armenia” yang berbasis di Suriah ke wilayah tersebut.
Misi Perdamaian PBB
Seorang Diplomat PBB mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB diperkirakan akan mengadakan pembicaraan darurat pada Selasa terkait konflik bersenjata antara pasukan Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh.
Jerman dan Prancis meminta pertemuan PBB, dan anggota dewan Eropa lainnya – Belgia, Inggris dan Estonia – mendukung langkah tersebut,” kata sumber itu kepada AFP.