SinarPost.com, Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyetujui pembatalan MoU proyek tahun jamak (multiyears) tahun 2020-2022. Pembatalan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna yang berlangsung di gedung utama dewan setempat, Rabu (22/7/2020) sore.
Dalam paripurna tersebut, Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin mengetuk palu pembatalan proyek multiyears itu setelah mendapat persetujuan dari mayoritas anggota DPRA yag hadir. Sebelum diketuk palu, adu argument antara anggota KAB (Koalisi Aceh Bermartabat) dan Non KAB mewarnai jalannya paripurna.
Sekedar informasi, proyek tahun jamak tersebut telah dituangkan dalam kesepakatan bersama antara Pemerintah Aceh dan DPR Aceh dengan nomor: 903/1994/mou/2019, garis bawah nomor: 11/mou/2019 tentang pekerjaan pembangunan dan pengawasan beberapa proyek melalui penganggaran tahun jamak (multiyears) tahun anggaran 2020-2022, yang ditandatangani pada tanggal 10 september 2019 lalu.
Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin mengatakan, dalam rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPR Aceh pada tanggal 23 Maret 2020 sejatinya telah menghasilkan kesimpulan bahwa akan dilaksanakan rapat paripurna terhadap persetujuan pembatalan proyek multiyears tahun 2020-2022.
“Akan tetapi karena pada saat itu tengah meningkatnya pandemi Covid-19 maka urung kita laksanakan dan kita fokuskan kepada pembentukan satuan tugas pengawasan, pencegahan dan penanganan Covid-19 DPR Aeh,” ujar Dahlan.
Pada kesempatan tersebut, Dahlan memaparkan kronologis pembatalan proyek multiyears terhadap pembangunan 12 proyek fisik dan pengawasan di 9 kabupaten di Aceh senila Rp 2,65 triliun itu. Dahlan menyebut, pada awalnya proyek multiyears itu telah mendapat penolakan dari Komisi IV DPR Aceh periode 2014-2019 melalui surat nomor: 86/komisi IV/IX/2019 tanggal
9 september 2019 perihal rekomendasi terhadap izin penganggaran tahun jamak (multy years contract).
Saat itu Komisi IV DPR Aceh Aceh memberikan rekomendasi tidak setuju dengan alasan perlu dilakukan pendalaman pembahasan bersama dengan pertimbangan besarnya kebutuhan anggaran, waktu pelaksanaan dan urgensi kegiatan, serta masih banyaknya ruas jalan dan hal lain yang dianggap lebih mendesak yang mestinya menjadi prioritas Pemerintah Aceh demi mendukung kelancaran arus transportasi masyarakat dan barang.
Pada intinya DPR Aceh menolak MoU proyek multiyears tersebut karena dianggap cacat hukum berdasarkan ketentuan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang perubahan kedua atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, lantaran tidak ada pembahasan di Komisi IV dan disepakati bukan dalam Rapat Paripurna sebagaimana amanat Permendagri dimaksud.
Dengan disetujuinya pembatalan MoU proyek multiyears tahun 2020-2022, maka DPR Aceh akan segera menyiapkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Eksekutif untuk membatalkan proyek multiyears yang sudah disahkan dalam APBA tahun 2020 itu. “Kita berharap agar Pemerintah Aceh dapat segera menindaklanjuti rekomendasi DPR Aceh dimaksud,” tegas ketua DPR Aceh, Dahlan Jamaluddin.
Fraksi Demokrat Wolk Out
Fraksi Partai Demokrat, yang merupakan arus politik utama pendungkung Pemerintahan Aceh dibawah Kepemimpinan Plt Gubernur Nova Iriansya, memilih wolk out (ke luar) saat pimpinan DPRA akan meminta persetujuan pembatalan proyek multiyears tersebut. Sebelum keluar, para anggota DPRA Fraksi Demokrat atau Koalisi Non KAB sempat beradu argumen, yang membuat jalannya paripurna memanas.
Interupsi demi interupsi sejak awal sidang dilayangkan para anggota dewan Non KAB, yang pada intinya mereka menyampaikan penolakan terhadap pembentukan tiga Pansus dan pembatalan MoU proyekmultiyears tahun 2020-2022.
Fraksi pendukung lainnya yang gencar menolak paripurna pembentukan Pansus dan proyek multiyears dimaksud adalah Fraksi PPP. Fraksi yang diketuai Ihsanuddin MZ itu dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap kelanjutan proyek multiyears tersebut.
Fraksi PPP menyatakan Qanun Aceh Nomor: 12 tahun 2019 tentang APBA tahun anggaran 2020, yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan pembangunan jalan dalam tahun jamak atau multiyers, merupakan aturan dan produk hukum DPR Aceh dan Pemerintah Aceh yang telah disahkan, dan telah disetujui oleh Kemendagri serta telah dicatat dalam lembaran daerah.
“Sehingga untuk merubah atau merevisi sebuah aturan dan produk hukum memiliki mekanisme serta prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sangat naif rasanya, bila forum Paripurna DPR Aceh melakukan voting/penolakan terhadap substansi yang terkandung dalam Qanun APBA tahun 2020 tersebut. Penganggaran proyek multiyears telah melalui prosedur dan mekanisme perencanaan anggaran sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. sehingga secara yuridis, penganggaran sejumlah dana tersebut dalam APBA telah memenuhi ketentuan legalitas penganggaran sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan,” ujar Ihsanuddin.