SinarPost.com, Tripoli – Pasukan Turki telah memainkan peran penting dalam konflik Libya sejak kehadirannya pada Januari 2020 lalu atas permintaan resmi Pemerintah Kesepakatan Nasional atau Government of National Accord (GNA) yang diakui oleh PBB sebagai Pemerintahan yang sah Libya.
Turki mengerahkan ribuan tentaranya lengkap dengan persenjataan canggih ke Libya saat negara itu tidak lagi terkendali akibat serangan yang dilancarkan (pemberontak) Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar yang didukung oleh Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, dan juga Rusia.
Dengan mengerahkan pasukannya ke Libya, maka secara tidak langsung Turki telah terlibat konfrontasi militer dengan Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, dan juga Rusia – yang memiliki kepentingan politik berbeda. Sejak dibantu Turki, GNA pun berhasil mengimbangi kekuatan LNA. Bahkan Pasukan GNA kini berhasil memukul mundur (pemberontak) LNA pimpinan Haftar dari sejumlah wilayah penting.
Pada Sabtu (6/6/2020), pasukan yang setia kepada Pemerintah Libya yang diakui PBB – dengan bantuan dari Turki – berhasil mencatatkan kemenangan besar atas LNA. Dalam serangan besar-besaran tersebut, GNA sukses merebut kota strategis Sirte, hal ini dicapai saat komandan militer pemberontak Khalifa Haftar dan sekutu Mesir-nya sedang mengusulkan gencatan senjata menyusul serangkaian kemunduran militer LNA.
“Angkatan udara telah melakukan lima serangan di pinggiran Sirte,” kata juru bicara Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Mohamad Gnounou, sebagaimana dilansir Aljazeera. “Perintah telah diberikan kepada pasukan kita untuk memulai serangan dan secara sistematis menyerang semua posisi pemberontak,” sambungnya.
Keberhasilan Pasukan GNA tersebut juga telah mematahkan serangan pasukan pemberontak pimpinan Haftar selama 14 bulan terakhir terhadap sejumlah kota strategis termasuk Ibukota Tripoli. Sekarang Pasukan GNA bersiap berkendara ke arah timur, mengambil keuntungan dari dukungan militer yang ditingkatkan dari Turki.
Sirte sendiri adalah kota kelahiran mantan pemimpin Libya, Muammar Gaddafi dan pemukiman besar terakhir sebelum batas tradisional antara barat dan timur Libya. Pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Haftar menguasai kota Sirte di Mediterania tanpa perlawanan pada Januari setelah salah satu milisi lokal berafiliasi dengan LNA.
Sirte adalah tempat pelabuhan ekspor minyak utama Libya, aset strategis paling penting Haftar – yang kini hampir sepenuhnya direbut pasukan GNA dukungan Turki.
Sirte berada sekitar 450 km (280 mil) timur Tripoli, kota tempat Gaddafi melakukan perlawanan terakhirnya terhadap pasukan pemberontak yang didukung NATO pada 2011.
Pembicaraan Gencatan Senjata
Pada hari Sabtu kemarin, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengatakan di Kairo bahwa Haftar dan para pemimpin timur lainnya – termasuk ketua parlemen timur Aguila Saleh – telah menandatangani sebuah deklarasi yang menyerukan gencatan senjata mulai pukul 06:00 (04:00 GMT) pada hari Senin dini hari.
“Mengindahkan permintaan dari negara-negara besar dan PBB untuk gencatan senjata … kami menarik 60km (40 mil) dari batas kota Greater Tripoli,” kata juru bicara Haftar, Ahmad al-Mesmari. Inisiatif itu, yang disebut “Deklarasi Kairo”, mendesak penarikan “tentara bayaran asing dari semua wilayah Libya.”
Sisi menambahkan bahwa deklarasi itu juga menyerukan “pembongkaran milisi dan menyerahkan persenjataan mereka sehingga Tentara Nasional Libya [yang dipimpin oleh Haftar] akan dapat melaksanakan tanggung jawab dan tugas-tugas militer dan keamanannya”. Tetapi pasukan GNA tampaknya merespon dingin atas proposal Mesir tersebut.
“Kami tidak memulai perang ini, tetapi kami akan memilih waktu dan tempat ketika itu berakhir,” kata juru bicara GNA, Mohamad Gnounou.
Dia mengeluarkan “seruan terakhir” bagi para pemimpin lokal Sirte untuk meninggalkan Haftar dan menyisihkan kota pesisir Mediterania “kengerian perang”. “Pasukan kami terus maju dengan kekuatan dan tekad, mengejar milisi yang melarikan diri (Haftar),” kata Gnounou.
Beberapa negara telah menyatakan dukungannya untuk gencatan senjata inisiatif Kairo. Dalam panggilan telepon dengan timpalannya dari Mesir Sameh Shoukry, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian, “memuji upaya yang dipimpin oleh Mesir … dan hasil hari ini bertujuan untuk segera menghentikan permusuhan”, katanya. “Prioritas harus segera dihentikan … dan kesimpulan cepat gencatan senjata,” kata Menlu Prancis menekankan.
Amerika Serikat mengatakan “mengawasi dengan penuh perhatian” suara-suara politik di Libya timur tempat Haftar berada. “Kami berharap dapat melihat suara-suara ini dimasukkan ke dalam dialog politik nasional yang sesungguhnya segera setelah dimulainya kembali pembicaraan 5+5 yang diselenggarakan oleh UNSMIL tentang modalitas gencatan senjata,” kata kedutaan AS ke Libya dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu.
“Kami menyambut upaya-upaya oleh Mesir dan lainnya untuk mendukung kembalinya negosiasi politik yang dipimpin PBB dan deklarasi gencatan senjata,” kata pernyataan itu.
Sementara Rusia – yang menurut para ahli PBB – telah mempekerjakan ratusan tentara bayaran dari Grup Wagner paramiliter Rusia untuk bertarung bersama Haftar, juga setuju upaya gencatan senjata. “Kami membaca isi dari tawaran Presiden Mesir, tentu saja, kami mendukung semua jenis penawaran untuk menghentikan konflik di Libya sesegera mungkin,” kata Mikhail Bogdanov, perwakilan khusus Rusia untuk negara-negara Timur Tengah dan Afrika, menurut Kantor Berita Ria.
Namun menurut Tarik Yousef, Direktur Brookings Doha Center, gencatan senjata bertujuan untuk melindungi Haftar dari kerugian militer lebih lanjut.
“Dalam konteks apa yang baru saja dilaporkan tentang kemajuan militer dalam pekan lalu, serangkaian kekalahan yang diderita Haftar menunjukkan inisiatif Kairo lebih pada upaya untuk menyelamatkan sisa-sisa proyek Haftar dan berusaha melindungi sisa-sisa pasukan militernya. di timur, “kata Yousef pada Aljazeera.
Libya jatuh ke dalam kekacauan setelah pembunuhan Khadafi selama pemberontakan 2011 silam. Negara Afrika utara yang kaya minyak itu terbagi antara dua pemerintahan saingan di timur dan barat, masing-masing didukung oleh pejuang yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan setelah kejatuhan Khadafi. Haftar sejak tahun lalu berusaha untuk mendapatkan kendali atas barat, melawan GNA dalam upaya gagal untuk merebut Tripoli.
Pasukan LNA dalam beberapa pekan terakhir kehilangan kekuatan penting oleh pasukan GNA, yang didukung oleh Turki. GNA merebut kembali kota strategis Bani Walid di barat laut negara itu dari LNA pada hari Sabtu. Perkembangan terakhir terjadi sehari setelah GNA merebut kota Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat laut, yang digunakan sebagai landasan peluncuran utama melawan Tripoli.
Kekalahan hari Jumat menimbulkan pukulan serius pada upaya (serangan) Haftar selama 14 bulan terakhir untuk merebut Tripoli. Haftar didukung oleh Mesir, Uni Emirat Arab dan Rusia. Sementara Pemerintah Kesepakatan Nasional Libya atau GNA yang diakui PBB didukung penuh oleh Turki yang telah mengerahkan ribuan pasukan dan peralatan tempur canggih ke Libya sejak Januari 2020.
Sumber : Al Jazeera