SinarPost.com, Banda Aceh – Gerakan Independen Advokasi Rakyat (GIAR) menggelar Diskusi Publik bertajuk “Refleksi Perekonomian Aceh: Realitas dan Solusi”. Acara berlangsung di D’Rodya Cofee Simpang Jambo Tape, Banda Aceh, Sabtu (22/2/2020) sore.
Diskusi yang digagas oleh para pemuda Aceh yang tergabung dalam GIAR ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Andi HS (Politisi Partai Golkar/Mantan Aktivis 98), Dr. Hafas Furqani, M.Ec (Wakil Dekan I FEBI UIN Ar-Raniry), dan Prof. Dr. Ir. A. Humam Hamid, M.Sc (Pakar Sosiologi Pedesaan).
Acara tersebut dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai stakeholders, seperti mahasiswa, pengusaha, politisi, aktivis, jurnalis, dan lain sebagainya.
Koordinator acara, Maulidawati mengatakan diskusi masalah pembangunan dan perekonomian Aceh perlu digaungkan oleh semua stakeholders guna mencari formulasi dan sulusi terhadap problem yang dihadapi Aceh di bidang pembangunan, ekonomi dan kemiskinan.
“Seperti kita ketahui, Aceh memiliki anggaran cukup besar namun tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera dan nomor 6 di Indonesia. Kondisi ini sangat miris, dan tentunya menjadi beban moral bagi kita selaku masyarakat Aceh. Karena itu diskusi-diskusi semacam ini perlu digagas guna mendapat ide-ide yang menjadi masukan bagi kita, pemerintah, serta mendapat wawasan dalam memutus mata rantai kemiskinan. Harapannya juga Pemerintah Aceh lebih gigih terhadap pengentasan kemiskinan ini,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Dedi Saputra selaku Ketua GIAR. Mantan Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry ini berharap kondisi Aceh hari ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, namun juga tanggung jawab seluruh stakelhorder baik pemerintah, pengusaha, akademisi, maupun tokoh-tokoh politisi. “Semua stakeholders di Aceh harus bersatu melawan kemiskinan,” tegasnya.
Dr. Hafas Furqani, M.Ec (Wakil Dekan I FEBI UIN Ar-Raniry), yang bertindak sebagai pemateri pertama menyampaikan, kemiskinan Aceh yang menempati nomor 1 di Sumatera menghadirkan fenomona tersindiri. Masyarakat menanggapi dengan berbagai cara seperti beberapa waktu muncul spanduk-spanduk selamat datang di provinsi termiskin, termasuk pihak Pemerintah Aceh yang menganggap rilis atau data yang dikeluarkan oleh BPS tidak sepenuhnya benar.
“Terlepas dari itu semua, Aceh hari ini memang termasuk salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari konflik yang berkepanjangan serta musibah tsunami. Namun yang perlu dicatat, kemiskinan di Aceh sejak 2007 sampai 2019 terus turun. Artinya persentase kemiskinan di Aceh juga semakin rendah, meski rangking kita tetap berada di atas di Pulau Sumatera,” ujarnya.
Dr. Hafas menilai Pemerintah Aceh sejatinya concern dalam mengentaskan kemiskinan meski berjalan lambat. Hal ini terlihat bahwa Aceh masuk 5 besar provinsi dengan tingkat penurunan kemiskinan terbaik di Indonesia. Dalam periode 2007-2019, pertumbuhan ekonomi Aceh juga lumayan bagus. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga mengalami peningkatan dimana tahun 2019 menjadi 71,90, atau sedikit berada dibawah nasional yang tercatat 71,92.
Pun demikian, kata Hafas, bila dilihat dari gelontoran Dana Otsus yang cukup besar, sudah menyentuh angka 80 triliun, seyogyanya kemiskinan di Aceh sudah dibawah 10 persen. “Mungkin disini ada sesuatu yang salah dalam penggunaan Dana Otsus kita, belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah lainnya, kita juga tidak memanfaakan moment seperti peluang menjadi kiblat ekonomi syariat meski sudah ada didepan mata, kemudian kawasan KEK juga tidak berjalan,” pungkasnya.
Pemateri lainnya, Andi HS, menyorot uang Aceh yang melimpah namun banyak mengalir ke luar daerah terutama ke Medan. “Kita punya banyak uang memang, tapi uang kita banyak yang terbang ke luar daerah terutama Jakarta dan Medan. Tidak banyak uang yang berputar di Aceh, makanya kita Aceh tetap sulit dan miskin. Kemudian yang menjadi problem juga anggaran dalam jumlah besar diperuntukkan secara konsumtif yang menguntungkan elite pejabat di atas,” katanya.
Ia pun menyoal kebijakan Pemerintah Aceh yang tidak punya fokus, terutama dalam membuka lapangan pekerjaan yang merupakan ‘senjata’ pengentasan kemiskinan, termasuk sektor pertanian dan kelautan. Masalah lainnya, lanjut Andi, Aceh juga kurang memiliki gagasan dalam meyakinkan pihak luar untuk berinvestasi di Aceh.
“Contoh kecilnya, persepsi masyarakat kita tidak boleh ada bioskop karena alasan syariat. Tapi nonton bioskop ke luar Aceh boleh. Belanja ke luar Aceh terutama ke Medan boleh, hambur-hamburkan uang ke luar Aceh boleh. Seakan syariat hanya berlaku di Aceh, kalau sudah keluar Aceh tidak apa nonton bioskop. Padahal syariah tidak mengenal ruang dan waktu,” paparnya.
“Kemudian kita juga terlalu ambisius mencari investor yang besar ke luar negeri, sehingga potensi ekonomi yang ada didepan mata yang semestinya bisa digarap secara lokal tidak terpikirkan. Contohnya masalah sampah yang cukup besar di Aceh, mestinya ini bisa dikomersilkan menjadi biji plastik. Buat industri pengolahnnya hingga jadi sehingga untuk ukuran plastik kita tidak perlu lagi mendatangkan dari Medan. Bukankah ini juga menguntungkan secara ekonomi dan lapangan pekerjaan,” jelasnya.
Sementara itu, Prof Humam Hamid menyorot tingkat kepedulian Gubernur dan Bupati/Walikota yang menurutnya tingkat kepedulian (kebijakan) terhadap penurunan angka kemiskinan masih sangat rendah. “Ada gak dari pemimpin Aceh hari hari ini yang melakukan “kontrak politik” misalkan 5 tahun kemiskinan harus tuntas,” ujarnya, mempertanyakan.
Menurut Humam Hamid, Pemimpin Aceh hari ini seperti kehilangan “ruh” kepemimpinan, dimana sangat jarang membuat sebuah forum yang menghadirkan unsur ulama, pengusaha, dan akdemisi. “Seharusnya kalau kita ini serius dalam menyelesaikan berbagai masalah, keempat unsur ini harus bersatu. Pemerintah yang memiliki semua sarana mestinya melakukan ini, termasuk menjemput pengusaha asal Aceh yang berada di luar sana,” ungkapnya.