SinarPost.com, Banda Aceh – Sudah 21 tahun Tragedi Idi Cut atau lebih dikenal dengan Tragedi Arakundo berlalu tanpa ada penyelesaian dari institusi berwenang. Tragedi Arakundo yang terjadi pada 3 Februari 1999 merupakan salah satu tragedi paling berdarah di Aceh semasa periode konflik.
Saat itu, rakyat Aceh setelah ditembak lalu dimasukkan ke dalam karung yang ditindih batu besar kemudian ditenggelamkan ke sungai Arakundo dengan biadabnya. Berdasarkan catatan yang ada, pembantaian ini menewaskan 7 orang, dan melukai seratusan rakyat tak berdausa lainnya. Namun kasus pelanggaran HAM tersebut sampai hari ini belum ada penyelesaian, tak ada pihak yang disalahkan atau dihukum.
Dalam rangka memperingati 21 tahun Tragedi Arakundo, sejumlah masyarakat dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Daulat Rakyat Aceh untuk Arakundo menggelar aksi damai di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh, Senin (3/2/2020). Dalam aksi tersebut, mereka menuntut Komnas HAM agar mengusut secara tuntas kasus pembantaian di Idi Cut, Aceh Timur itu.
Aksi tersebut juga dilakukan secara serentak di beberapa daerah lainnya di Indonesia seperti Lhokseumawe (Taman Riyadhah), Sumatera Barat (Kantor Komnas HAM) dan Yogyakarta (Tugu Jogja).
Koordinator Lapangan Shiddiq Mubarakh dalam orasinya di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh mengatakan, Tragedi Arakundo merupakan satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM Indonesia di Aceh yang sampai hari masih terbengkalai. Meskipun mengaku sebagai negara hukum, namun penguasa republik ini dinilai seperti hendak melupakan tragedi berdarah Arakundo. “Terbengakalainya kasus pelanggaran HAM berat merupakan pengkhianatan terhadap hak warga negara,” tegasnya.
Menurut Shiddiq Mubarakh, Negara memiliki tanggungjawab dalam mewujudkan perlindungan, jaminan dan pemenuhan hak asasi manusia kepada seluruh warga negara, tanpa membeda-bedakan agama, ras, warna kulit, serta aliran politik dan keyakinan tertentu. Kewajiban ini tertuang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, dan seluruh Konvensi-konvensi HAM PBB lainnya. Bahkan UUD 1945 juga menjamin atas pemenuhan hak-hak asasi manusia tersebut.
“Semua kita sebagai bagian dari masyarakat sipil memiliki tanggungjawab untuk terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan demi terwujudnya penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Masyarakat sipil adalah salah satu pilar penting dalam memajukan dan meningkatkan kualitas penegakan HAM,” tuturnya.
Perdamaian MoU Helsinki 2005 antara RI-GAM, lanjut Shiddiq, mengamanahkan terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai lembaga yang menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Namun, lemahnya KKR Aceh mengakibatkan ruang geraknya yang cukup terbatas. Di tengah kondisi yang seperti ini, Presiden Jokowi selaku pembuat kebijakan dan memiliki wewenang dan kekuasaan seharusnya menepati janji-janji kampanyenya terkait isu-isu kemanusiaan,” imbuhnya.
Berikut pernyataan sikap Aliansi Daulat Rakyat Aceh untuk Arakundo atau disingkat ‘DarahArakundo’:
- Menuntut Komnas HAM untuk segera mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM Tragedi Arakundo dan seluruh pelanggaran HAM Berat masa lalu yang terjadi di Aceh. Negara harus membuka kotak pandora untuk mengungkapkan siapa pelaku dari serangkaian peristiwa itu.
- Menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk melakukan revisi Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya yang berkaitan dengan pengadilan HAM ad hoc dalam pasal 43 agar menghilangkan hak usul DPR dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc, karena DPR adalah lembaga politik bukan lembaga hukum!
- Meminta Pemerintah Aceh untuk bertanggungjawab dalam pemenuhan hak- hak korban konflik dan lebih serius memberikan kewenangan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh agar dapat bekerja maksimal sesuai dengan tupoksinya.
- Meminta pemerintah Aceh dan pihak-pihak terkait untuk membangun Museum Konflik Aceh sebagai tempat memorialisasi dan ruang ingatan terkait konflik dan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.
“Pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu bukanlah sarana untuk membangkitkan dendam atas luka lama. Namun, ini harus kita sadari sebagai sebuah masalah yang harus diselesaikan untuk menjadi pelajaran bersama agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Ini merupakan bagian dari upaya kita untuk mengingatkan dan mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat agar tidak dilupakan, karena sesungguhnya melupakan pemusnahan adalah bagian dari pemusnahan itu sendiri,” pungkas Shiddiq Mubarakh.