SinarPost.com, Banda Aceh – Para buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Aceh (ABG), Senin (20/1/2020) pagi melakukan aksi damai di Banda Aceh, dengan agenda menolak RUU Omnibus Law yang sedang digagas oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Para buruh awalnya melakukan aksi penolakan RUU Omnibus Law tersebut di Bundaran Simpang Lima, setelah itu bergerak ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Orasi mereka di halaman gedung wakil rakyat itu disambut oleh Wakil Ketua DPRA, Safaruddin, dan sejumlah anggota DPRA lainya.
Setelah menyampaikan aspirasinya, kemudian beberapa aktor aksi dari Aliansi Buruh Aceh menyerahkan petisi berisi beberapa poin penting yang menjadi tuntutan mereka. Petisi ini diterima Wakil Ketua DPRA, Safaruddin.
Ada empat poin penting dari pernyataan sikap Aliansi Buruh Aceh (ABA), yaitu menolak Omnibus Law yang merugikan pekerja dan rakyat Indonesia, menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, meminta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk mengirimkan surat/rekomendasi untuk menolak RUU Omnibus Law, serta mendesak Pemerintah Aceh (Gubernur Aceh) untuk mengeluarkan Peraturan Gubernur terhadap seluruh turunan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.
Ada hal menarik dibalik aksi damai Aliansi Buruh Aceh dalam menolak RUU Omnibus Law serta kenaikan iuran BPJS Kesehat pagi tadi, dimana dua Anggota DPRA, Safaruddin dan Bardan Sahidi rela melakukan ‘aksi jongkok’ guna memberikan sandaran punggungnya untuk memudahkan penandatangan petisi yang diserahkan oleh Aliansi Buruh Aceh.
‘Aksi jongkok’ awalnya dilakukan oleh Bardan Sahidi. Politisi Partai PKS ini memberikan sandaran punggungnya untuk memudahkan Wakil Ketua DPRA, Safaruddin menandatangani petisi yang menjadi tuntutan Aliansi Buruh Aceh. Setelah itu gilaran Safaruddin yang melakukan ‘aksi jongkok’, politisi Partai Gerindra ini balik memberikan sandaran punggungnya untuk memudahkan Bardan Sahidi menandatangani petisi. Mereka berdua terlihat begitu bersemangat dan kompak.
Seperti diberitakan sebelumnya, aksi penolakan terhadap RUU Omnibus Law datang dari berbagai kalangan masyarakat di tanah air. Mereka menolak Omnibus Law karena dinilai akan merugikan pekerja dan rakyat Indonesia. Pasalnya, pembentukan Omnibus Law akan meleburkan sejumlah undang-undang yang sudah ada, salah satunya adalah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang selama ini menjadi dasar hukum tenagakerjaan dan dinilai sudah baik serta lengkap mengatur tentang dunia ketenagakerjaan di Republik ini.
Para buruh menolak Omnibus Law karena dikhawatirkan rencana peleburan UU Nomor 13 Tahun 2003 ini akan berdampak kepada penurunan kualitas kesejahteraan pekerja. Adapun sejumlah hal yang dikhawatirkan berdampak dari Omnibus Law diantaranya tentang upah minimum, pesangon, penggunaan outsourcing dan kontrak, penggunaan TKA unskill, jaminan sosial dan hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar ketentuan berdasarkan UU 13 Tahun 2003.
Wacana pembentukan Omnibu Law ini sendiri digulirkan Pemerintah pada akhir 2019 lalu. OmnibuS Law merupakan Undang-Undang Sapu Jagat (Undang-undang untuk segalanya). Pembentukan Omnibus Law akan ada peleburan puluhan UU — yang oleh Pemerintah — beralasan berargument untuk membuat regulasi semakin mudah demi menggenjot iklim investasi dan pemberdayaan ekonomi di Indonesia. OmnibuS Law dianggap sebagai UU yang fleksibel, khususnya dalam hal meningkatkan iklim investasi di tanah air, dimana akan ada ketonggaran-kelonggaran yang diberikan pemerintah kepada investor.