SinarPost.com, Banda Aceh – Sanitasi Tidak Layak atau perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di Aceh sejatinya masih cukup tinggi terutama di daerah-daerah pedesaan, namun tidak banyak pihak yang membicarakan masalah tersebut, apalagi diangkat ke dalam ranah diskusi publik. Padahal perilaku BAB sembarangan sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit.
Atas dasar tersebut, Yayasan Aceh Hijau (Yahijau) bekerjasama dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), dan UNICEF menggelar lokakarya (workshop) terkait BAB sembarangan di kalangan masyarakat Aceh.
Acara yang mengangkat tema “Peran Aktif Ulama Dalam Mendukung Aceh Terbebas BAB Sembarangan” itu berlangsung di Hotel Grand Mohani Banda Aceh selama dua hari, yaitu Selasa-Rabu (29-30 Oktober 2019). Workshop tersebut diikuti oleh perwakilan Ulama/MPU dan Kechik dari berbagai daerah di Aceh, unsur LSM dan insan pers.
Direktur Executive Yayasan Aceh Hijau, Syarifah Marlina Al-Mazhir menuturkan, workshop tersebut dilaksanakan untuk membicarakan kondisi Sanitasi Tidak Layak atau BAB sembarangan di Aceh, serta mencari solusi terkait permasalahan itu guna menghindari masyarakat Aceh dari berbagai macam penyakit yang ditimbulkan akibat perilaku BAB sembarangan.
“Berdasarkan data BPS diketahui bahwa terdapat satu juta lebih masyarakat Aceh yang masih melakukan BAB sembarangan atau dengan kata lain 1 dari setiap 5 rumah tangga di Aceh masih berperilaku BAB sembarangan. Jadi tidak mengherankan jika penyakit diare dan penyakit terkait lainnya sebagai salah satu akibat dari perilaku ini masih masuk dalam 10 besar penyakit di Aceh,” ujarnya.
Kondisi Sanitasi Tidak Layak atau BAB sembarangan ini tentu sangat memprihatinkan. Hal ini diyakini memiliki kontribusi terhadap tingginya risiko anak balita stunting di Aceh. “Angka balita stunting di Aceh sendiri masih menduduki peringkat ke-3 tertinggi di Indonesia. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan Sanitasi Yang Layak, risiko terjadinya stunting dapat dikurangi hingga 27 persen,” sebut Syarifah.
Para perwakilan Ulama Aceh memiliki perspektif yang berbeda terkait perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) ini. Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk. H. Faisal Ali dalam paparannya mengatakan bahwa perilaku BABS adalah perbuatan yang menganggu atau merugikan orang lain sehingga tidak mencerminkan ‘Rahmatan Lil Alamin’.
Menurutnya, Islam yang mengusung konsep Rahmatan Lil Alamin telah memberikan tuntunan secara lengkap kepada ummatnya, termasuk dalam hal mu’amalah dan thaharah yang didalamnya mencakup masalah istinja’ atau BAB.
“Dalam hal BAB, Islam dengan jelas telah memberi tuntunannya. Jangankan BAB sembarangan (yang mengganggu kenyamanan orang lain, mendatangkan penyakit, serta terbuka aurat), menghadap kiblat aja tidak boleh, termasuk berak di lubang. Semestinya masyarakat Aceh yang dikenal oleh orang luar kental dengan Islam-nya tidak ada perilaku BABS ini,” sebutnya.
Lain lagi pendapat dari Ketua MPU Pidie, Tgk H.Ismi A.Jalil. Beliau berpendapat bahwa pelaku BABS ini merupakan orang-orang yang tidak berpendidikan agama karena Islam sudah jelas mengajarkan tentang thaharah. Jadi jika mereka mengikut agama seharusnya tidak melakukan BAB sembarangan.
Rendahnya Tingkat Kesadaran
Pemerintah Aceh sejatinya telah berupaya menanggulangi masalah BABS ini dengan membangun banyak sarana-sarana Sanitasi melalui pembangunan rumah layak huni serta MCK-MCK di setiap desa, namun hal ini tidak berjalan dengan baik karena rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terutama di desa-desa. Isu BABS ini tidaklah semata-mata disebabkan kurangnya sarana Sanitasi Layak, karena banyak juga sarana yang dibangun di desa-desa tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
Oleh karena itu upaya menumbuhkan kebutuhan sanitasi dan membangun kesadaran masyarakat melalui peran ulama menjadi sangatlah penting untuk mendorong Aceh sebagai negeri Serambi Mekkah terbebas dari perilaku BAB sembarangan. Dan pada akhirnya urusan yang sering dianggap sepele ini tidak lagi memberi dampak buruk bagi masyarakat di Aceh.