SinarPost.com, Jakarta – Rencama Pemerintah melalui Menteri Keuangan untuk menambah utang baru terus menuai kritikan. Dari Parlemen, kritikan juga terus diutarakan, kali ini datang dari Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam.
Menurutnya, utang baru tersebut dapat menjadi bahaya laten bagi bangsa ini. Karena itu kehati-hatian mengambil kebijakan utang dan memaksimalkan manajemen utang jadi keniscayaan untuk dilakukan pemerintah.
Politisi PKS tersebut menyerukan agar pemerintah mewaspadai utang yang semakin melonjak. Apalagi, saat yang sama defisit APBN 2020 ditargetkan mencapai Rp 307,2 triliun, meningkat apabila dibandingkan dengan target APBN 2019 yang hanya Rp297 triliun.
“Utang yang terus menumpuk dan tidak dikelola dengan baik, justru dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta membuat ekonomi Indonesia rentan akanexternal shock,” ujar Ecky, Rabu (30/10/2019).
“Ketergantungan Indonesia pada utang ini salah satunya disebabkan oleh besarnyashortfallperpajakan. Tahun 2019 saja, diperkirakan akan terjadishortfallsebesar Rp 143 triliun. Indonesia belum bisa memaksimalkan potensi pendapatan perpajakan yang ada,” tambahnya.
Pada lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia setiap tahunnya hanya sebesar 5,73 persen, sangat jauh apabila dibandingkan pertumbuhan pada periode 2005-2009 yang mencapai 17,56 persen per tahun.
Menurutnya, selama pemerintahan Presiden Jokowi dari 2015-2018, stok utang pemerintah dalam bentuk SBN bertambah Rp1.600 triliun. Sementara defisit APBN selama ini masih bersifat tidak produktif, karena masih tingginya alokasi anggaran belanja yang tidak efisen serta potensi kebocoran berbagai belanja lainnya yang masih tinggi.
“Pemerintahan ke depan perlu merubah paradigma dalam pembiayaan defisit dan pengelolaan utang negara. Pemerintah dan Bank Indonesia harus pula mewaspadai tren meningkatnya rasio utang pemerintah dan utang luar negeri Indonesia di tahun 2019.Debt to GDP ratioIndonesia mengalami tren peningkatan selama tiga tahun terakhir, dari 24 persen pada tahun 2014 hingga mendekati 30 persen di tahun 2019,” paparnya.
Ditambahkannya, tren meningkatnyadebt to GDP ratiotersebut menunjukkan bahwa kebijakan utang pemerintah relatif kurang efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal serupa terjadi padadebt to service ratioIndonesia yang terus mengalami peningkatan dari 23.95 persen (2014) menjadi 26.18 persen (2019).
“Tren tersebut menunjukkan sinyal yang kurang baik atas perekonomian Indonesia. Khusus untuk utang luar negeri, lanjut Ecky, pemerintah dan Bank Indonesia harus meningkatkan koordinasi, terutama dengan semakin tingginya ketidakpastian perekonomian global,” demikian pungkas Ecky.