SINARPOST.COM, LHOKSUKON – Kepala Perwakilan YARA Aceh Utara, Iskandar, mendukung langkah masyarakat Kecamatan Dewantara yang meminta PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) agar menghibahkan besi tua eks PT Asean Aceh Fertilizer (AAF).
“Hal ini berkaitan dengan masih banyaknya masyarakat yang belum sejahtera walaupun tinggal di lingkar perusahaan yang besar. Ini merupakan konsekuensi dari PT PIM yang sudah beroperasi puluhan tahun, namun gagal membangun kesejahteraan warga di sekelilingnya,” ujar Iskandar, Selasa (8/10/2019).
Sebelumnya pada Senin (7/10), seratusan masyarakat dari Kecamatan Dewantara, Aceh Utara dari berbagai elemen melakukan demo di pintu gerbang PT PIM yang berada di pinggir jalan nasional. Masyarakat menuntut pihak PT PIM agar menghibahkan besi tua eks PT AAF kepada masyarakat. Aksi itu sempat diwarnai perdebatan pendemo dengan Sekretaris Perusahaan PT PIM, Yuanda Wattimena saat memberikan penjelasan terkait tuntutan pendemo.
“Kami mendukung masyarakat yang meminta dihibahkan besi tua bekas PT AAF, karena besi tersebut masih bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan masyarakat sekitarnya, dan ini masuk akal karena selama puluhan tahun PT PIM tidak melakukan upaya pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya,” terang Iskandar.
Dalam kesemlaran ini, YARA mendesak Plt Gubernur Aceh untuk turun tangan menyelesaikan permasalahan warga dengan PT PIM sesegera mungkin, dan jangan sampai menganggap permintaan masyarakat ini masalah kecil dan angin lalu.
“Konflik ini bisa saja besar karena menyangkut hak hidup publik, jangan sampai konflik meluas seperti dalam kasus PT EMM, baru kemudian Plt Gubernur mendengar aspirasi masyarakat, sehingga akan menimbulkan stigma terhadap investasi khususnya untuk kawasan KEK Arun,” tuturnya.
YARA juga mendesak Plt Gubernur Aceh agar membuat aturan khusus baik Qanun maupun Pergub untuk mengatur pengelolaan dana Tanggung Jawab Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mengontrol perusahaan agar tetap bersinergi dengan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
“Perihal CSR memang sudah diatur dalam UU, tapi banyak tempat masyarakat di lingkungan perusahaan besar di Aceh belum merasakan kesejahteraan. Artinya perusahaan melalui CSR-nya belum berjalan maksimal. Karena itu kami minta agar Pemerintah Aceh memanfaatkan kekhususan Aceh dengan mengeluarkan peraturan sendiri baik itu Pergub maupun dengan mengusulkan Qanun ke DPRA untuk mengontrol dana CSR perusahaan di Aceh, sehingga perusahaan bisa bersinergi dengan program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tutup Iskandar.