SINARPOST.COM, BANDA ACEH | Dalam rangka perbaikan tata kelola sumber daya alam Aceh, Pemerintah dinilai masih perlu melanjutkan kebijakan tentang moratorium pertambangan beserta tim evaluasinya.
Hal itu disampaikan dalam diskusi review pelaksanaan moratorium dan mendorong adanya tim evaluasi pertambangan di Aceh yang dilaksanakan oleh Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, di aula Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Rabu (22/5/2019).
Dalam diskusi yang diikuti oleh akademisi, praktisi, pemerintahan terkait seperti perwakilan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Dinas ESDM serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu, semuanya sepaham bahwa moratorium tambang di Aceh mesti dilanjutkan.
Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan, kelanjutan moratorium tambang sangat diperlukan guna membenahi tata kelola pertambangan. Sekaligus membentuk tim untuk mengevaluasi proses atau mengawal pelaksanaannya.
“Moratorium pertambangan dan tim evaluasi sangat penting untuk membenahi tata kelola tambang di Aceh, kata Hayatuddin Tanjung.
Menurut Hayatuddin, pembenahan secara menyeluruh tersebut penting mengingat kuatnya indikasi jual beli Izin Usaha Pertambangan (IUP) selama ini. Karena perlu juga dilakukan kajian secara mendalam mengenai kelanjutannya kedepan.
Mengenai tim evaluasi tambang, lanjut Hayatuddin, diperlukan guna adanya pengawasan, mengingat dua Intruksi Gubernur (Ingub) moratorium sebelumnya tidak dibentuknya tim.
“Perlu ada tim evaluasi tambang minerba, karena dari dua ingub sebelumnya tidak ada tim,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Hayatuddin menuturkan, dengan berlakunya moratorium, maka sangat berdampak baik terhadap tata kelola sumber daya alam Aceh, banyak hutan dan lahan Aceh terselamatkan.
Dirinya menyebutkan, pada tahun 2014 dengan dikeluarkannya Intruksi Gubernur (Ingub) Aceh Nomor 11/INSTR/2014 tentang moratorium izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara. Serta dibentuknya tim pemantau berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 540/777/2015.
Setelah Ingub ini berlaku selama dua tahun hingga 2016, sebanyak 92 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari total 138 berkurang atau tinggal 46 IUP tersisa, dengan hasil itu, lahan Aceh terselamatkan seluas 639.646 hektare (Ha).
“Kemudian, saat diperpanjang hingga 2017, dengan Ingub bernomor 09/INSTR/2016, sebanyak 9 IUP kembali berkurang,” tuturnya.
Setelah itu, ketika Irwandi Yusuf melanjutkan Ingub tersebut dengan nomor 05/INSTR/2017, berlaku selama enam bulan hingga Juni 2018. IUP berkurang lagi dari total 37 IUP, dan kini tersisa sebanyak 30 IUP. Lahan di Aceh yang terselamatkan kembali bertambah seluas 61.433 Ha.
“Selama periode moratorium tambang sejak 2014 sampai dengan 2018, sebanyak 108 IUP telah berakhir, dengan total lahan terselamatkan seluas 747.079 Ha,” sebutnya.
“Untuk itu, berdasarkan hasil baik dalam upaya penyelamatan hutan dan lahan Aceh sejauh ini, Pemerintah Aceh harus melanjutkan moratorium serta membentuk tim evaluasinya,” tandas Hayatuddin.
Dalam diskusi tersebut, Kepala Dinas ESDM Aceh, Mahdinur menyampaikan, untuk saat ini, IUP aktif di Aceh hanya tersisa 27 perusahaan, kemudian dari jumlah tersebut 25 perusahaan berstatus Operasi Produksi (OP) dan tiga eksplorasi.
Namun, sebut Mahdinur, hanya dua perusahaan saja yang benar-benar melakukan pekerjaan, selebihnya berjalan ditempat.
“Yang melaksanakan tugasnya, hanya PT Mifa Bersaudara dan PT Bara Energi Lestari, sedangkan lainnya stagnan,” pungkas Mahdinur.
Mengenai hal lain, Mahdinur menuturkan bahwa mereka selaku pemerintah akan menerima masukan dari masyarakat apa yang terbaik terhadap penyelematan hutan dan lahan di Aceh. Juga termasuk persoalan kelanjutan moratorium tersebut.