SINARPOST.COM, NEW YORK | Pemerintah Indonesia menentang keras pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Dataran Tinggi Golan sebagai bagian dari Israel. Indonesia dengan tegas menolak pengakuan tersebut, dan hanya mengakui Golan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah kedaulatan Suriah.
Sebelumnya Pemerintah Amerika Serikat (AS) secara sepihak mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai milik Israel. Amerika mengabaikan hukum internasional yang menegaskan Golan sebagai wilayah Suriah, yang dicaplok Israel pada tahun 1967 pasca-Perang Enam Hari.
“Indonesia menolak keras adanya pengakuan AS bahwa Dataran Tinggi Golan merupakan bagian dari Israel. Tindakan ini tidak bisa diterima dengan standar apapun, khususnya Resolusi DK PBB,” tegas Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) A.M. Fachir di Markas PBB New York, Amerika Serikat, Selasa (26/3/2019) seperti dikutip Laman Sekretariat Kabinet RI.
Lebih lanjut, Wamenlu Fachir menjelaskan bahwa pengakuan AS ini akan mengganggu upaya-upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas di kawasan. DK PBB juga menolak keras pengakuan sepihak Amerika Serikat, dan mereka tetap berpegang pada Resolusi DK PBB yang menegaskan Dataran Tinggi Golan sebagai milik Suriah.
Kecam Israel
Selain menegaskan Golan sebagai wilaya tak terpisahkan dari Suriah, Pemerintah Indonesia dalam forum Dewan Keamanan (DK) PPB juga mengecam kekerasan dan pelanggaran yang terus dilakukan Israel kepada rakyat Palestina. Apa yang dilakukan Israel adalah pelanggaran keras terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional.
“Israel sama sekali tidak menerapkan Resolusi DK PBB 2334 (2016). Tindakan Israel merupakan penolakan terang-terangan terhadap Resolusi DK PBB,” kata Wamenlu RI A.M. Fachir.
Sebelumnya Special Coordinator PBB untuk perdamaian Timur Tengah, Nicolay Mladenov, mewakili Sekjen PBB, menyampaikan laporan tertulis implementasi Resolusi 2334. Dalam laporan itu disampaikan berbagai perkembangan negatif terjadi di wilayah pendudukan Palestina. Diawali penutupan misi pengawas asing pada akhir Februari, pemotongan penerimaan pajak milik Palestina sebesar USD 139 juta, penutupan pintu gerbang Masjid Al-Aqsa, perluasan pendudukan, pengusiran warga Palestina dari rumahnya, hingga kekerasan dan teror oleh pendatang (settlers) yang didukung oleh petugas keamanan Israel.
Menurut Wamenlu, berbagai hal yang dilakukan pemerintah Israel menunjukkan kecenderungan pengambilalihan wilayah Palestina atau yang disebut dengan aneksasi. Hal ini membuat “solusi dua negara” yang selama ini diperjuangkan dan disepakati oleh dunia internasional, termasuk Palestina dan Israel sendiri, menjadi semakin jauh dari kenyataan.
Wamenlu juga menggarisbawahi tentang kondisi ekonomi dan kemanusiaan rakyat Palestina yang harus jadi prioritas, disamping berbagai upaya politik lainnya. Ia menilai, kemiskinan dan pengangguran merupakan salah satu sumber konflik.
Pada Februari lalu, lanjut Wamenlu, Pemerintah RI meningkatkan bantuan sejumlah 1 juta dollar AS kepada Badan PBB untuk Pengungsi Paletina (UNRWA), dan bantuan proyek desalinasi di Gaza.
Menutup pernyataannya, Wakil Menlu RI menyampaikan permintaan kepada DK PBB untuk terus memonitor perkembangan di Palestina, khususnya di Yerusalem, untuk menghindari eskalasi konflik.