SinarPost.com – Dalam beberapa minggu terakhir dunia menyaksikan Pemerintahan Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Donald Trump meningkat kehadiran militernya dalam skala besar ke Teluk Persia, dekat Iran. Armada perang AS itu juga tersebar disejumlah pangkalan militer di negara-negara Arab, sekutunya.
Sudah menjadi rumah bagi Armada ke-5 AS yang tangguh – yang berbasis di Bahrain – Angkatan Laut AS baru-baru ini juga mengirim kapal selam kelas Ohio yang kuat, USS Georgia, dikawal oleh dua kapal penjelajah berpeluru kendali, USS Port Royal dan USS Laut Filipina, melalui Selat Hormuz ke Teluk Arab (Teluk Persia).
USS Georgia bertenaga nuklir, berspesialisasi dalam menyerang target jauh di pedalaman dan memiliki inventaris 154 rudal Tomahawk Cruise, masing-masing mengirimkan 450 kilogram (992 pon) hulu ledak konvensional hingga 2.700 kilometer (1.677 mil) jauhnya. Dirancang untuk terbang rendah di bawah perlindungan radar, mereka dapat menghancurkan target strategis dengan sedikit atau tanpa peringatan.
Kapal penjelajah yang menyertai USS Georgia juga bersenjata berat, masing-masing membawa campuran serangan darat, pertahanan udara, dan rudal anti-kapal yang kuat.
Mereka juga mampu melacak ratusan objek bergerak dengan suite Aegis Radar canggih mereka dan keduanya mampu menembak jatuh rudal balistik jarak pendek dan menengah.
Ketiga kapal angkatan laut ini dapat menghancurkan setiap target yang diperhatikan tepat di seluruh daratan Iran, mencegah Iran menggunakan kekuatan rudal balistiknya dan menghancurkan instalasi pesisir Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC).
USS Georgia juga mampu mendaratkan puluhan tentara pasukan khusus yang akan membantu pengumpulan intelijen, sabotase dan bertindak sebagai pengontrol udara depan, memandu serangan udara dan menyampaikan penilaian kerusakan pertempuran kembali ke pusat operasi mereka.
AS telah secara signifikan meningkatkan daya tembaknya di wilayah tersebut, dengan penekanan pada serangan target potensial di darat.
Tidak hanya itu, kapal induk USS Nimitz yang akan dirotasi kembali ke pangkalannya di San Diego, California, diperintahkan kembali untuk tetap berada di dekat Iran di Laut Arab.
Ini, ditambah dengan pengerahan pesawat pembom nuklir B-52 dari AS ke pangkalan militernya di Teluk, menjadi pesan yang jelas kepada pemimpin Iran bahwa setiap tindakan militer oleh Iran atau pasukan proksi regionalnya akan ditanggapi dengan tanggapan yang luar biasa oleh AS dan sekutu regionalnya.
Sekutu Regional
Iran tidak asing dengan pembangunan dan penumpukan militer AS di lepas pantainya. Serangan terhadap Iran telah dibahas, dikembangkan, disempurnakan dan diancam selama beberapa dekade dan Iran telah mempersiapkan diri terhadap kemungkinan serangan militer AS.
Dalam hal kekuatan tempur langsung atau perang terbuka dalam skala penuh, sangat diragukan Iran bisa menang di bawah serangan AS dan koalisinya, tetapi ada beberapa hal yang sulit untuk dipecahkan terkait Iran – yang tentunya sangat berbeda saat AS menyerang Irak di masa kepemimpinan Saddam Husein.
Iran telah membangun situs nuklirnya dan menguburnya di bunker yang mengeras jauh di bawah tanah. Hanya bom khusus yang memiliki peluang untuk merusak situs-situs ini dan bahkan keberhasilannya tidak dijamin.
Situs-situs ini dikelilingi oleh sistem rudal pertahanan udara yang mumpuni dan ditempatkan oleh pasukan elit Iran yang terlatih dengan baik.
Angkatan udara Iran kecil dan kuno jika berhadapan dengan AS dan koalisinya di Timur Tengah akibat embargo puluhan tahun, tetapi program rudal balistik dan jelajahnya berkembang dengan baik dan yang terbesar di wilayah itu. Sanksi yang berkepanjangan memaksa para ilmuwan Iran bekerja keras mengembangkan senjata, meningkatkan kompleks industri militernya, dan menghasilkan desain rudal balistik yang semakin canggih dengan jangkauan ribuan kilometer.
Terlepas dari sumber daya yang hebat dan peralatan tempur canggih yang dimiliki AS dan koalisinya, hampir tidak mungkin untuk mencegat setiap rudal Iran, seandainya mereka diluncurkan secara massal ke setiap pangkalan militer AS.
Selain itu, armada pesawat tak berawak atau drone Iran yang semakin canggih yang dibangun dalam skala besar, jika diterbangkan secara massal akan membuat kerepotan pertahanan AS dan menyerang target dengan presisi. AS dan Arab Saudi telah melihat kecanggihan drone Iran saat menghantam kilang minyak Saudi, Aramco, tanpa terdeteksi. Meski Iran membantah sebagai pelakunya namun AS dan Arab Saudi dengan tegas menuduh Iran sebagai pelakunya.
Selain itu, ada juga pasukan khusus IRGC Iran dan kapal selam mini, yang dirancang untuk beroperasi tanpa terdeteksi di perairan dangkal Teluk Arab. Mereka dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada armada AS di lepas pantai Iran. Meski tidak secanggih dan sehebat AS, Iran telah membangun kekuatan angkatan lautnya dalam skala besar, yang pastinya menjadi ancaman nyata terhadap keberadaan angkatan laut AS di Teluk Persia.
Dapat dilihat bahwa Presiden AS Donald Trump – dengan dorongan kuat Israel dan Arab Saudi – sangat berambisi untuk menghajar Iran, setelah rentetan sanksi yang dijatuhkan pasca menarik AS secara sepihak dari perjanjian nuklir Iran 2015, gagal melumpuhkan negara Para Mullah itu. Melihat kekuasaan Trump hanya tinggal satu minggu lagi, rasanya mustahil serangan militer terhadap Iran akan terwujud. Pun demikian, Trump dapat mengambilkan “tindakan sembrono” di menit-menit terakhir kepemimpinannya.
Presiden terpilih AS, Joe Biden sendiri tidak mungkin mengizinkan tindakan militer apa pun terhadap Iran dan telah menunjuk William Burns, diplomat karier dan penghasut negosiasi jalur belakang dengan Iran, sebagai direktur CIA.
Netanyahu selalu menjadi pendukung vokal untuk aksi militer terhadap Iran, berulang kali mengklaim bahwa Iran akan menyelesaikan pembuatan senjata nuklir. Tapi ini gagal terwujud dalam 28 tahun dia mengatakan bom Iran akan menjadi kenyataan.
Terlibat oleh skandal korupsi di dalam negeri, tampaknya Netanyahu tidak akan berkuasa selama bertahun-tahun lagi dan pemerintahan Biden yang akan datang sudah mempertimbangkan untuk menegosiasikan kembali perjanjian nuklir Iran – yang dikenal dengan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) – jika Iran setuju untuk membatasi pengembangan nuklirnya dengan imbalan pelonggaran sanksi.
Iran telah mengumumkan melanjutkan pengayaan 20 persen uranium di fasilitas nuklir bawah tanah Fordow, sebuah tanda frustrasinya dengan kurangnya kemajuan yang dijanjikan JCPOA terhadap pelonggaran sanksi.
Selasa lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo membuat pernyataan berani dengan menuduh bahwa pangkalan baru al-Qaeda (teroris internasional) berada di Iran, namun Pompeo gagal mendukung klaim tersebut dengan bukti apa pun. Dia juga mengklaim Iran telah dan sedang membantu al-Qaeda dan memberi mereka tempat berlindung dan logistik.
Klaim tersebut diharapkan dapat memuluskan langkah Pemerintahan Donald Trump untuk menggempur Iran. Hal ini penting karena di bawah Otorisasi Pasukan Militer 2001, Presiden AS tidak memerlukan persetujuan Kongres untuk tindakan militer apa pun yang ditujukan pada al-Qaeda, yang dianggap sebagai organisasi internasional yang tidak terikat dengan negara mana pun dan oleh karena itu dapat ditargetkan (diserang) di mana saja.
Dapat dikatakan, dengan segala argumen yang diperlihatkan, sekarang Pemerintahan Trump sudah siap untuk aksi militer melawan Iran. Namun seperti semua rencana serius lainnya untuk menyerang fasilitas nuklir Iran, tidak ada jaminan keberhasilan, bahkan kemungkinan perang lain di kawasan itu akan pecah yang sulit dikendalikan.
Seperti diketahui, Iran juga memiliki sekutu (proxi) yang kuat di Timur Tengah, yang tentunya tidak akan tinggal diam melihat Iran digempur oleh AS dan koalisinya. Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak, tentu akan ikut terjun dalam medan perang dengan menyerang target-target AS dan sekutunya seperti Arab Saudi dan Israel. Ada kemungkinan juga Rusia dan China akan ikut campur mengingat Iran adalah sahabat dekatnya di Timur Tengah.
Dibalik potensi pecahnya perang, ada hal lain yang membuat dunia termasuk pemimpin Iran yang menghela nafas lega, karena Joe Biden akan dilantik pada 20 Januari 2021 mendatang.
Artikel ini disadur dari Al Jazeera.
Baca artikel aslinya di Al Jazeera dengan judul: “What’s behind the significant build-up of US firepower in the Gulf”