Iklan Sinar Post

Sekjend SADaR: Kepemimpinan Mawardi Ali di Aceh Besar Sedang Kritis

Sekjend Sentral Aktivis Dayah untuk Rakyat (SADaR) Miswar Ibrahim Njong.

SINARPOST.COM, BANDA ACEH – Sekjend Sentral Aktivis Dayah untuk Rakyat (SADaR) Miswar Ibrahim Njong menilai kepemimpinan Mawardi Ali di Aceh Besar sedang dalam kritis. Hal ini disampaikan Miswar lewat sebuah opini singkatnya yang diunggah di laman facebook pada Minggu (28/7/2019).

Lewat opininya itu, Sekjend SADaR menyentil bahwa kepemimpinan Mawardi Ali yang sedang kritis tidak terlepas dari keretakan hubungannya dengan Wakil Bupati Husaini A. Wahab atau akrab disapa Waled Husaini. Menurut Miswar, Waled Husaini memiliki andil besar dalam mengantarkan “Pasangan Putih” itu ke tampuk kekuasaan di Aceh Besar dengan mengalahkan Saifuddin Yahya (Pak Cek) – Juanda Djamal yang diusung Partai Aceh dan koalisinya pada Pilkada 2017 silam.

Namun setelah meninggalkan Waled Husaini (dalam hal pengambilan kebijakan), membuat keretakan hubungan antara Bupati dan Wakil Bupati Aceh Besar itu tidak terelakkan, sehingga Mawardi Ali mulai kehilangan dukungan dari ulama dan kalangan dayah hingga jejaringnya di akar rumput. Bahkan baru-baru ini Waled Husaini secara bla-blakan menyebut bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan di Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar, termasuk kebijakan himbauan larangan penerbangan di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang saat Hari Raya, yang lagi viral.

“Kepemimpinan Mawardi Ali di Aceh Besar memang sedang kritis. Di Jantho, ia sendirian. Tak ada teman yang bisa memberinya second opinion dalam berbagai kebijakan strategis. Ia tinggalkan Waled Husaini, sosok yang telah memberinya keuntungan berlipat secara elektoral, hingga mereka mengalahkan PA di pilkada. Memang Waled Husaini lebih populer ketimbang dirinya. Maka begitu ia meninggalkan Waled Husaini, saat itu pula ia telah kehilangan dukungan dari ulama dan dayah Seulimum hingga jejaringnya di akar rumput,” tulis Miswar yang dikutip Sinarpost.com, Senin (29/7/2019).

Menurut Miswar, hilangnya dukungan dari ulama dan kalangan dayah disadari betul oleh Bupati Mawardi Ali, hingga dirinya mencoba “bermain” di ranah syariat Islam dengan mengeluarkan kebijakan himbauan larangan penerbangan terhadap semua maskapai saat Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri, dengan pertimbangan agar karyawan Bandara dan Maskapai Penerbangan dapat melaksanak Shalat Ied.

“Barangkali Mawardi menyadari itu. Maka dengan tergesa-gesa, ia mengeluarkan imbauan itu. Yang bikin Aceh Besar viral lagi hingga ke pentas nasional. Padahal Aceh Besar memiliki destinasi wisata yang luar biasa, sektor yang dapat menjadi lumbung PAD yang begitu potensial. Namun peluang itu terbengkalai saja. Tak ada yang urus,” ungkapnya.

Menurut Miswar, kebijakan Bupati Aceh Besar terhadap larangan penerbangan tersebut diambil secara tergesa-gesa, tanpa melibatkan kalangan ulama dan kajian yang mendalam. “Bupati Aceh Besar mungkin mengira, imbauan itu akan menjadi tali yang dapat menarik kembali dukungan ulama kepadanya, serta mendapat limpahan simpati dari masyarakat, sebab ini adalah imbauan syariat Islam. Akan tetapi Mawardi lupa, bahwa masih ada yang waras. Orang-orang masih bisa membedakan, mana yang syariat Islam, mana yang bukan. Apalagi imbauan itu dikeluarkan tanpa melibatkan ulama, tanpa melalui kajian yang mendalam. Jelaslah, imbauan itu hanya politisasi syariat Islam,” sebutnya.

“Syariat Islam, secanggih apapun ia dipolitisasi, tetap akan menampakkan keagungannya,” demikian pungkas Sekjend SADaR, Miswar Ibrahim Njong.

Tulisan Miswar tersebut telah mendapat beragam tanggapan, salah satunya datang dari Teuku Irwan Djohan, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRA. Sebagai putra asli Aceh Besar, putra asli Seulimeum, Irwan Djohan mengaku sangat menyayangkan keretakan antara Bupati dan Wakil Bupati Aceh Besar yang semakin melebar. Ia berharap agar keretakan tersebut dapat direkatkan kembali sesegera mungkin.

“Sangat disayangkan apabila keretakan semakin melebar. Karena tentu akan berpengaruh pada jalannya pemerintahan di Aceh Besar, yang ujung-ujungnya akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik, dan tentunya publik Aceh Besar yang akan sangat-sangat dirugikan. Akan semakin bertambah lagi persoalan-persoalan yang tidak tertangani oleh Pemerintah Aceh Besar,” sebut Irwan Djohan.

Sebagai putra Aceh Besar, Irwan Djohan merasa sedih jika kondisi ini terus berlanjut. Ia juga sangat menyayangkan apabila tokoh ulama Seulimeum sekaliber Waled Husaini ditinggalkan oleh Bupati Mawardi Ali, sebagaimana diungkapkan oleh Waled secara terang-terangan di media.

“Pak Bupati sebenarnya tokoh yang punya banyak gagasan untuk membangun Aceh Besar. Saat kami masih bersama-sama di DPRA dulu, beliau pernah beberapa kali bercerita kepada saya tentang visinya memajukan Aceh Besar, yang saya nilai cukup bagus. Tetapi jika seperti ini yang terjadi, saya berpikir, mungkin Pak Bupati sudah lupa dengan semua visinya tersebut. Walhasil Aceh Besar akan tetap seperti kemarin-kemarin,” sebutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *