SinarPost.com, Banda Aceh – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rijaluddin, SH, MH menyoroti pendapatan Aceh yang menurun di tahun ini. Salah satu yang paling menarik adalah hilangnya retribusi dari getah pinus yang mencapai angka Rp 10 miliar.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kelahiran Aceh Tenggara itu dengan tegas meminta jawaban konkrit dari Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh dan juga Kepala Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA) tentang mengapa Pemerintah Aceh tidak lagi mendapatkan retribusi dari penjualan getah pinus.
“Ini mengenai Dapil Pak Sekda. Setiap tahunnya kita mendapat kurang lebih 10 miliar dari retribusi getah pinus, namun beberapa tahun ini kita tidak lagi mendapatkan retribusi, sedangkan getah pinus tetap saja disadap, dideres,” ujar Rijaluddin dalam Rapat Paripurna DPR Aceh, Selasa (18/11/2025).
Yang menyayat hati dia, pohon pinus dapat tumbuh dengan sendirinya di tanah Aceh, yang melambangkan kesuburan tanah Bumi Serambi mekkah. Meski sebagian hutan pinus besar di Aceh dikelola oleh pemilik namun retribusinya tidak lagi mengalir ke kas Pemerintah Aceh dan juga pemerintah kabupaten, dan inilah yang membuat Anggota DPR Aceh Dapil 8 geram tersebut.
Rijaluddin pun memberkan bahwa dibalik sirnanya pendapatan Aceh yang mencapai Rp 10 miliar dari retribusi getah pinus, ternyata disebabkan ulah Pemerintah Aceh sendiri. Bahkan dia mensinyalir ada “cinta terlarang” antara oknum Pemerintah Aceh dengan perusahaan jika tak elok disebut “pajak gelap” untuk oknum pejabat di lingkup Pemerintah Aceh.
Dikatakan Rijaluddin, Pemerintah Aceh melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) hari ini menerapkan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 4 Tahun 2023 yang menyebabkan hilangnya pendapatan Aceh dari sektor retribusi getah pinus, padahal Aceh mempunyai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menegaskan bahwa hutan itu pengelolaannya di Pemerintah Aceh.
“Vinus itu tidak ditanam bisa tumbuh sendiri di tanah Aceh tercinta Pak Sekda. Tapi hari ini kita tidak lagi mengambil retribusinya, dan setelah saya cari tau ternyata Pemerintah Aceh melalui DLHK hari ini menerapkan Permen No 4 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa kerjasama itu kita tidak boleh lagi untuk mengambil retribusi, sedangkan di Undang-Undang No 11 Tahun 2006 jelas mengatakan bahwa hutan itu pengelolaannya di Pemerintah Aceh, satu pasal dengan pertambangan,” terangnya.
“Kenapa pertambangan kita kelola sendiri sedangkan hutan kita serahkan ke Pemerintah Pusat,” sambung Rijaluddin, menafsirkan ambiguitas kebijakan Pemerintah Aceh.
Atas dasar tersebut, Anggota DPR Aceh Fraksi PKB menganggap ada oknum Pemerintah Aceh yang bermain cinta dengan perusahaan, karena dengan penggunaan Permen No 4 Tahun 2023, kewajiban perusahaan untuk membayar kurang lebih Rp 10 miliar kepada Pemerintah Aceh menjadi tiada.
“Jadi, Pemerintah Aceh saat ini saya menganggap ada oknum Pemerintah Aceh yang bermain cinta dengan perusahaan, karena dengan penggunaan Permen ini, kewajiban perusahaan untuk membayar kurang lebih 10 miliar kepada Pemerintah Aceh ini menjadi tidak ada,” tegasnya.
Menurut Rijaluddin, Pemerintahan Aceh telah hidup kekhususan Aceh serta mengangkangi Qanun Aceh tentang kehutanan. “Kita punya Qanun No 7 yang hari ini telah dikangkangi. Kita berusaha menyampaikan bahwa kita ingin kembali memperkuat kekhususan Aceh. Dulunya kita sudah masuk kekhususan tapi hari ini karena adanya Permen kita keluar dari kekhususan itu,” ujarnya.
“Saya rasa ini pertimbangannya mana sih yang lebih tinggi, Undang-Undang atau Permen, karena acuan kita Undang-Undang No 11 Tahun 2006 bukan Permen DLHK,” sambung Rijaluddin.
Dia pun diperingatkan, jika Pemerintah Aceh tidak lagi mengambil atau menarik retribusi dari penjualan getah pinus dari perusahaan-perusahaan getah pinus, sebaiknya Pergub Pembatasan Penjualan ke luar daerah dicabut untuk membantu para petani lokal.
“Kalau memang Pemerintah Aceh tidak lagi mengambil atau menarik retribusi dari penjualan getah pinus ini dari perusahaan-perusahaan getah pinus, kami harap Pergub Pembatasan Penjualan ke luar daerah dicabut untuk membantu para petani, karena tidak ada gunanya juga kita tahan tidak boleh menjual keluar karena kita sendiri tidak mendapatkan apa-apa,” tegasnya.
“Pemerintah Aceh dan Kabupaten tidak mendapatkan apa-apa. Kalau memang ini tidak ditindaklanjuti, cabut Pergub tentang hosting penjualan getah pinus keluar daerah,” tutup Rijaluddin.
(Mk)





