SinarPost.com – Sebuah pesawat kargo militer Sudan jatuh di negara bagian Kordofan Barat yang dilandasi perang, menewaskan seluruh awaknya, demikian dilaporkan militer sebagaimana dikutip dari Russia Today, Kamis, 6 November 2025.
Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter mengklaim telah menembak jatuh pesawat militer tersebut. RSF dan pasukan Sudan telah terlibat perang saudara selama beberapa tahun dalam upaya perebutan kekuasaan.
Militer Sudan mengatakan pesawat itu mengalami “kerusakan teknis pada mesin kanan,” yang menyebabkannya kehilangan keseimbangan dan terbakar setelah “berhasil menyelesaikan operasi pendaratan.” Pihak militer tidak merinci berapa banyak orang di dalamnya.
Insiden itu terjadi pada hari Selasa ketika pesawat tersebut sedang menjatuhkan pasokan kepada pasukan di kota Babanusa yang terkepung, tempat militer Sudan memerangi RSF, menurut pernyataan militer.
Dalam pernyataan terpisah, RSF mengklaim telah menembak jatuh sebuah “pesawat tempur Ilyushin” di atas Babanusa setelah “meluncurkan serangan udara yang menewaskan puluhan warga sipil” di beberapa wilayah di Kordofan Barat.
RSF mengunggah video reruntuhan pesawat yang terbakar di kanal Telegram-nya, tetapi tidak memberikan bukti lebih lanjut.
Kelompok tersebut, menurut media lokal Sudan Tribune, telah berusaha merebut kota tersebut sejak serangan pertamanya pada Januari 2024.
Akhir bulan lalu, RSF merebut Al-Fashir, ibu kota Darfur Utara dan komando Divisi Infanteri Keenam Angkatan Darat Sudan, setelah pengepungan selama 18 bulan yang ditandai dengan laporan kelaparan dan pemboman besar-besaran.
Lebih dari 2.200 orang telah tewas dan 390.000 orang mengungsi akibat serangan di Al-Fashir, lapor Persatuan Dokter Sudan. Dewan Keamanan PBB mengutuk serangan tersebut, mendesak RSF untuk menerapkan ketentuan resolusi 2024, yang menuntut diakhirinya pengepungan dan de-eskalasi di wilayah tersebut.
Pada hari Senin, para aktivis dan pejabat Sudan menuduh pejuang paramiliter menargetkan pemakaman di desa al-Luweib, di luar kota El-Obeid yang dikuasai tentara di Kordofan Utara, menewaskan sedikitnya 40 orang.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah memperingatkan bahwa kekejaman semacam itu dapat dianggap sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mengumumkan penyelidikan baru atas insiden di Al-Fashir. Mahkamah tersebut telah menyelidiki kasus-kasus serupa terkait konflik Darfur yang dimulai pada tahun 2003 dan berlangsung hampir dua dekade.
Namun, Rusia menuduh ICC memiliki bias politik dan tidak efektif, serta menuntut pencabutan kasus Darfur dari yurisdiksinya.





