Oleh: Muhammad Ridwansyah, M.H.,
Artikel saudara Khairil Akbar yang dimuat dalam opini serambinews 04 Februari 2021 perlu ditelaah secara cermat agar tidak merugikan hak konstitusional rakyat Aceh dalam perhelatan demokrasi pada tahun 2022 nanti.
Secara teori kekhususan suatu daerah sudah dijelaskan dengan sistematis dan holistik, kekhususan suatu daerah awal mulanya beranjak dari daerahnya itu sendiri dan diturunkan dalam pengaturannya (Bagir Manan, 2008). Kekhususan di Aceh sudah jelas secara legal constitutional diatur oleh Pasal 18B UUD Tahun 1945, namun secara teknis diatur oleh Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Perlu diuraikan makna kekhususan dalam suatu undang-undang tidak pernah dijelaskan bahwa undang-undang itu khusus bahkan tidak diuraikan dalam definisi umum undang-undang tersebut. Kekhususan dan keistimewaan itu harus dilihat secara asas hukum, mustahil menemukan tanpa ada alat (asas hukum) itu sendirinya.
Salah satu metode penemunya menguji asas hukum itu dengan norma pasal yang ingin kita uji, dalam hal ini tentang pemilihan umum kepala daerah. Secara teori berlakunya sebuah undang-undang karena norma fundamental negara yang mengamanahkan pemilihan umum kepala daerah itu menjadi bagian dari rezim pemerintah daerah, tetapi faktanya di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang (UU Pemilihan) sudah menyimpangi prinsipil konstitusional yang diatur oleh Pasal 18 ayat 4 UUD Tahun 1945 “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi juga menjelaskan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, artinya norma ini harus segera dikembalikan kepada daerah masing-masing sesuai jadwal masa jabatan yang akan segera habis di tahun 2022. Ketika ada putusan pengadilan yang sudah mengikat dan final namun ada pernyataan yang agak memaksakan bahwa suatu pilkada harus diseragamkan itu sangat keliru dan bias akan kepentingan. Walaupun memang secara umum KPU yang notabenenya sebagai rezim pemilu menjadi penyelenggara namun dalam sistem anggaran tetap menggunakan anggaran daerah untuk melaksanakan pilkada tersebut.
Dalam narasinya berikutnya menjelaskan agak kurang tepat ketika pemilu bukan kekhususan Aceh namun berbeda dengan pemilihan dengan mengargumentasikan calon independen dalam pemilihan. Betul pada saat ini tidak hanya Aceh semua daerah saat ini dibolehkan mengajukan calon perorangan. Tetapi yang perlu diingat norma calon independen ini berawal dari kekhususan Aceh, artinya prinsip diadopsi oleh Indonesia dan menerapkannya dalam sistem pemilihan umum. Perlu diluruskan bahwa norma calon independen pada saat perumusan ketika partai politik lokal belum dibentuk di Aceh maka diberikanlah kran agar calon independen itu dibuka. Namun dalam perjalanannya norma calon independen dianggap sangat bermanfaat bagi demokrasi di Indonesia. Dapat dipahami bahwa norma calon independen itu hingga sekarang dalam klaster UUPA masih dianggap kekhususan dan keistimewaan Aceh.
Frasa selanjutnya, bahwa sengketa hasil pemilihan yang diamanah dalam UUPA dibawa ke MA sudah benar secara konstitusional, bahkan norma ini adalah norma ius contituendum (hukum yang dicita-citakan) bagi Pemerintah Indonesia. Saat ini, kewenangan MK mengenai sengketa pemilihan itu keliru secara konstitusional. Hadirnya MK dalam naskah akademik perubahan UUD, menjadi penguji undang-undang terhadap UUD, tok sampai disitu. Namun karena pada saat itu sistem peradilan yang masih carut marut, khusus di dunia hukum maka dialihkanlah ke body kewenangan MK (Pasal 24C ayat ayat (1) UUD Tahun 1945).
Poin selanjutnya, redaksional dalam syarat calon kepala daerah yang dominan terhadap agama Islam, sejatinya adalah identitas kekhasan Aceh yang menjadi bagian semangat syariat Islam. Ini menjadi terobosan dalam syarat-syarat calon kepala daerah dalam regulasi nasional walaupun memang belum terlaksana.
Kemudian yang harus ditekankan bahwa sistem pemilihan umum bukan memiliki aspek khusus tetap memiliki norma khusus dan istimewa karena frasa tekstualnya sangat jelas berbeda dengan norma-norma pemilu yang diatur oleh undang-undang nasional. Sisi lain tidak benar ketika sistem pemilihan umum di Aceh hanya sekedar mengisi kekosongan dimana regulasi pemilihan masih mencari arah. Perlu ditelaah bersama bahwa dalam naskah akademik UUPA, ada keinginan nyata bahwa sistem pemilihan di Aceh itu berbeda dengan daerah lain. Misalnya muncul penamaan KIP, Panwaslih, dan calon independen, bahkan partai politik lokal.
Ketika, pemilihan di Aceh mengkerucut pada pilkada serentak 2023 maka pemerintah pusat menyimpangi norma khusus atau hukum khusus yang telah disepakati bersama (UUPA).
Kekhususan dan keistimewaan dipaksakan untuk menguji Pasal 65 ayat (1) UUPA tentu tidak ada titik temu karena tolak ukur jujur dan adil itu bukan indikator asas hukum. Artinya, tidak boleh karena ada unsur kebencian terhadap sesuatu maka menggelapkan narasi ilmiah. Subtansi Pasal 65 ayat (1) a quo bukan hanya sebatas pergantian tampuk kepemimpinan tetapi amanah undang-undang dan mengandung hajat hidup orang banyak. Andai, gagal pilkada 2022, maka kekhususan Aceh dibidang pemilu tidak lagi berdaya dan ompong begitu saja. Perjuangan kekhususan norma UUPA, sejatinya secara historitas mengorbankan darah rakyat Aceh. Diakui atau tidak klausul dipilih dalam satu pasangan secara langsung adalah hak konstitusional rakyat Aceh dan dijamin dalam UUD Tahun 1945.
Kemudian kata “diatur sepanjang lain” (Pasal 199 UU Pemilihan). Artinya pengaturan pilkada di Aceh sudah diatur dan tidak boleh UU Pemilihan mendulum kewenangan yang ada dalam UUPA. Hal ini kiranya kita sudah ketahui bersama dalam ilmu perundang-undangan.
Terakhir, dalam kebijakan KPU terbaru yang menegur KIP Aceh, sangat keliru dan tidak beralasan, kenapa? Pertama, secara hirarki, KIP dengan KPU hanya hubungan finasial dan administratif saja dan tidak lebih. Kehadiran KIP Aceh itu dengan UUPA, bukan dengan UU Pemilihan Umum. Artinya, induknya berbeda walaupun tetap berpayung ke Pasal 22E UUD Tahun 1945. Kedua, teguran KPU terhadap KIP Aceh hanya sebatas koordinasi semata dengan pemangku kepentingan. Ingat kata koordinasi tidak perlu izin tahapan pemilihan yang dikeluarkan KIP Aceh. Ketiga, norma khusus yang ada dalam UUPA kesemuanya adalah kekhususan dan keistimewaan Aceh dengan dasar frasa bahwa rencana perubahan undang-undangan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.
*Penulis merupakan Staf Ahli Komite II DPD RI T.A. 2018-2019 dan Kepala Departemen Advokasi, Politik dan Hukum DPP Muda Seudang Sayap Partai Aceh.