SINARPOST.COM, ACEH BESAR | Anggota DPRK dari lintas Partai Lokal (Parlok) di Aceh Besar menilai mekanisme referendum perlu disuarakan secara terus menerus oleh semua lapisan masyarakat Aceh, hal ini penting sebagai daya tawar politik Aceh dalam menuntuskan berbagai persoalan dengan Pemerintah Indonesia sesuai MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pendapat tersebut disampaikan anggota DPRK Aceh Besar Bakhtiar ST, Zulkiram, Gunawan mewakili Partai Aceh (PA), Zulfahmi dan Abdul Muthaleb mewakli Partai Nanggroe Aceh (PNA), dan Tgk Mufazzal, Muslem Asyek dan Nasruddin dari Partai Daerah Aceh (PDA).
“Kami bersepakat bahwa mekanisme referendum merupakan agenda politik yang harus terus menerus disuarakan guna memperkuat posisi tawar politik Aceh,” kata mereka dalam keterangan tertulisnya kepada Sinarpost.com, Jumat (14/6/2019).
Sebelumnya wacana referendum menjadi hangat diperbincangkan oleh masyarakat Aceh setelah digaungkan oleh mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf alias Mualem pada acara haul sembilan tahun wafatnya Tgk Muhammad Hasan di Tiro, di gedung Amel Convention Hall Banda Aceh pada 27 Mei 2019 lalu.
“Kendatipun pernyataan tersebut telah diklarifikasi oleh Mualem, kami berpandangan bahwa wacana tersebut perlu menjadi diskursus bersama, baik secara akademik maupun politik supaya demokratisasi Indonesia semakin kuat,” lanjut mereka dalam pernyataan bersamanya terkait dinamika politik kekinian di tingkat Aceh maupun Nasional.
Bakhtiar ST, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Fraksi PA di DPRK Aceh Besar menilai, Indonesia yang menganut sistem demokrasi semestinya setiap mekanisme yang membahas tentang langkah atau cara membangun tatanan negara yang lebih demokratis, tidak sepatutnya dibatasi. Menurutnya diskursus atau perdebatan terkait referendum perlu dilangsungkan, yang penting pelaksanaannya ditetapkan secara perundang-undangan.
“Bagi kami, referendum adalah salah satu media demokrasi, sama juga halnya dengan pemungutan suara saat pemilu atau pilkada. Tidak perlu kita reaksioner berlebihan jika ada yang mengungkapkan kata referendum,” ucap Bakhtiar mengacu pada reaksi pusat secara berlebihan atas pernyataan yang disampaikan Mualem selaku Ketua Umum Partainya.
Bakhtiar mengaku kecewa terhadap sikap Jakarta yang meminta klarifikasi dari Mualem dengan merekam pernyataannya sebagai bukti untuk meyakinkan tokoh nasional. Akan tetapi, hari ini rekaman tersebut telah menjadi konsumsi publik padahal disepakati hanya sebagai konsumsi internal negara.
“Terus terang kami sangat kecewa, ini bukti Jakarta terus berupaya menyudutkan Aceh dengan menjatuhkan marwah bangsa Aceh. Kami protes keras atas beredarnya rekaman tersebut,” tegas Bakhtiar.
Namun demikian, lanjut Bakhtiar, pihaknya berterimakasih kepada Mualem karena pernyataannya mengenai referendum telah mengundang respon secara nasional dan bahkan dunia. “Perdebatan bernegara atas Negara Republik Indonesia kembali bergema, kita patut berterima kasih pada Mualem, sepenggal kalimatnya telah menumbuhkan kembali nasionalisme ke Indonesiaan di seluruh republik ini, mudah-mudahan negara ini terus maju dan tidak kita gadaikan,” pungkas Bakhtiar.
Ketua Partai PNA Aceh Besar, Muhammad Amin menambahkan, Aceh telah berkontribusi besar terhadap transformasi Republik Indonesia baik dalam penyelenggaraan pilkadasung, calon independen, dan partai politik lokal. Menurutnya, semua itu merupakan bentuk kontribusi Aceh dalam mendemokratisasikan Indonesia supaya menjadi negara yang lebih beradab.
“Harapan kami, jangan melihat negatif atas apa yang berlangsung di Aceh hari ini. Aceh berperang selama 30 tahun dulunya telah menjadikan Republik Indonesia lebih matang dan dewasa dalam bertata negara, kita terus bergerak dalam memperbaiki negara dan bangsa ini,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Zulfahmi, anggota DPRK Aceh Besar dari PNA. Bahkan dia menegaskan bahwa Aceh perlu melakukan konsolidasi politik, dimana parlok harus menjadi alat untuk menumbuhkan kembali imajinasi masa depan Aceh, mengingat situasi politik nasional, regional dan global semakin tidak jelas dan semakin berdampak buruk bagi perkembagan Aceh kedepan.
Sedangkan Tgk Mufazzal Zakaria, anggota DPRK dari Partai PDA mengutarakan bahwa Aceh harus memiliki posisi tawar dengan Jakarta pasca Pemilu Serentak 2019. Bagi politisi PDA tersebut, apa yang disampaikan Mualem telah memberi pesan politik yang amat berharga bagi masa depan politik Aceh.
“Perjanjian damai Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah menjadi basis legal atas pembangunan Aceh. Kita memiliki otoritas lebih luas untuk mengatur dan menjalankan tatanan negara yang mengedepankan kepentingan ke-Acehan. Untuk itu, koalisi parlok di Aceh Besar bersepakat untuk terus mendorong kuatnya politik Aceh di masa depan, mudah-mudahan koalisi kami dapat diikuti juga di seluruh kabupaten/kota lainnya di Aceh, sehingga kekuatan politik Aceh semakin kuat,” tutup Mufazzal.