SinarPost.com – Hari ini, Minggu (31/1/2021) Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul ‘Ulama (NU) memperingati hari lahir (Harlah) yang ke-95 sejak didirikan pada tanggal 31 Januari 1926.
Nahdlatul ‘Ulama (Kebangkitan ‘Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) merupakan organisasi yang menjadi wadah berhimpunnya kalangan ulama pesantren di Indonesia yang berpaham Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah).
Ormas NU bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah Wal Jamaah.
NU pada dasarnya berdiri sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan pada saat berdirinya NU yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus sebagai simbol kebangkitan ulama Aswaja menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam.
Sejarah dan Paham Keagamaan
Seperti yang disinggung dia tas, NU pada prinsipnya didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah sekaligus kebangkitan kalangan ulama pesantren akibat kungkungan tradisi, serta untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Berdirinya NU juga berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman.
Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat Islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab.
Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam’iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Dalam hal paham keagamaan, NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi/Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab Imam Syafi’i dengan tetap mengakui tiga madzhab yang lain, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki,dan Imam Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Imam Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Sumber : Wikipedia