SinarPost.com – Tensi di Idlib, Suriah, kian memanas setelah 33 tentara Turki tewas dalam serangan udara rezim Pasukan Suriah. Ini bukan pertama kalinya tentara Turki tewas di Idlib dalam membendung Presiden Bashar Al-Assad menguasai kembali wilayahnya yang sejak 2011 lalu dikuasai pemberontak.
Turki telah mengirim ribuan tentaranya lengkap dengan peralatan canggih kelas berat ke Idlib. Antara Pasukan Suriah yang didukung Rusia dan Iran dan Tentara Turki yang didukung AS dan NATO sudah beberapa kali terlibat peperangan, sehingga tensi antara kedua negara bertetangga ini terus memburuk. Spekulasi pecahnya perang terbuka antara Suriah-Rusia vs Turki-NATO pun terus menjadi pembicaraan dunia. Kalau perang terbukan pecah antara dua kekuatan ini, siapa sesungguhnya yang diuntungkan?
Turki sebelumnya tidak pernah meminta bantuan kepada NATO meski tentaranya hampir tiap hari terbunuh di Idlib dalam mendukung pasukan pemberontak (oposisi). Namun pasca 33 tentaranya tewas pada Kamis (27/2/2020) malam dalam serangan besar-besaran pasukan rezim Suriah di Idlib, Pemerintah Turki mulai melayangkan perlindungan pada aliansi NATO.
Darius Shahtahmasebi, Analis Hukum dan Politik yang berbasis di Selandia Baru yang berfokus pada kebijakan luar negeri AS di kawasan Timur Tengah, Asia, dan Pasifik, dalam opininya yang diterbitkan Russia Today (RT.com) menulis, spekulasi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya pasca kematian 33 tentara Turki dapat dilihat dari trending topic di Twitter. Dalam opininya tersebut, yang menukil media Turki, Darius menyebut bahwa Omer Celik, Juru Bicara Partai AKP yang berkuasa di Turki, telah mengindikasikan kepada wartawan di Ankara bahwa ia sedang mencari perlindungan formal NATO dalam menghadapi Damaskus dan proxy-nya, angkatan udara Rusia.
“Kami meminta NATO untuk [memulai] konsultasi. Ini bukan [serangan] pada Turki saja, ini adalah serangan terhadap komunitas internasional. Diperlukan reaksi umum. Serangan itu juga terhadap NATO,” kata Celik kepada media Turki. Ucapan petinggi partai berkuasa di Turki itu mengindikasikan kemungkinan intervensi NATO di Suriah.
Sebagai informasi, Pasal 5 perjanjian NATO menyebutkan serangan terhadap satu anggotanya adalah serangan terhadap mereka semua. Artinya bila Turki benar-benar terlibat perang terbuka dengan Suriah yang dibantu Rusia dan Iran, maka kemungkinan besar NATO akan ikut terlibat.
Departemen Luar Negeri AS secara resmi juga telah mengutuk serangan rezim Suriah terhadap pasukan Turki, dengan menyatakan bahwa pihaknya mendukung “sekutu NATO-nya Turki”. Lebih lanjut dikatakan bahwa pihaknya terus “menyerukan untuk segera mengakhiri ofensif tercela oleh rezim Assad, Rusia dan pasukan yang didukung Iran”. Utusan AS untuk NATO Kay Bailey Hutchinson juga mengatakan kepada wartawan bahwa “semuanya ada di atas meja.”
Namun, menurut Darius, tidak jelas apakah NATO memiliki stamina untuk mendukung Turki dengan cara apa pun yang berarti dalam perang melawan Pemerintah Suriah yang didukung oleh kekuatan udara Rusia. Juga tidak jelas apakah Pasal 5 perjanjian NATO meluas ke sekutu NATO ketika mereka secara efektif menginvasi entitas asing (negara lain). Dalam kasus ini bahkan Turki bukanlah pihak yang berada di posisi membela diri, melainkan Suriah. (Mengacu pada tentara Turki yang memasuki wilayah Suriah membela pemberontak).
Pun demikian, Ankara seakan berkata bahwa pihaknya telah menemukan cara untuk memastikan bahwa negara-negara Eropa tidak mengabaikan situasi. Baru-baru ini, Turki dilaporkan membuka perbatasan Idlib untuk memungkinkan masuknya pengungsi Suriah untuk melarikan diri ke Eropa, yang pasti akan memperbesar ketegangan regional ke tingkat yang signifikan. Moskow telah menanggapi situasi ini dengan menyoroti hubungan Ankara dengan berbagai entitas jihadis di Suriah.
Menurut Kementerian Pertahanan Rusia, serangan udara itu dilakukan ketika Tentara Suriah menangkis serangan oleh cabang resmi Al-Qaeda, Hayat Tahrir al-Sham, di dalam “zona de-eskalasi” Idlib. Tentu saja, siapa pun yang telah memperhatikan perang di Suriah dapat menghargai bahwa material dan dukungan Ankara untuk kelompok-kelompok teroris di Suriah, termasuk dan terutama ISIS, telah lama didokumentasikan.
Terlepas apakah Suriah-Rusia dan Turki-NATO akan terlibat perang terbuka, namun menurut Darius, Amerika Serikat (AS) sangat diuntungkan dengan situasi tersebut. Situasi saat ini, tulis Analis Hukum dan Politik yang berbasis di Selandia Baru itu dalam opininya di Russia Today, hampir matang untuk membentuk kebijakan luar negeri AS, yang telah lama bermimpi menempatkan Rusia dan Turki pada jalur tabrakan.
AS bersedia untuk mendukung Turki ke sudut dimana ia menemukan dirinya berhadapan dengan Rusia, meski tanpa dukungan penuh dari aliansi NATO. Jika itu (terjadi) berarti apa yang tampak seperti ‘buah yang subur’ antara Ankara dan Moskow selama ini akan berantakan sepenuhnya. (Mengacu pada kebijakan Turki yang membeli peralatan militer Rusia, dan di saat bersamaan memilih bersiteru dengan AS).
Di sisi lain, Moskow, yang merupakan sekutu penting lama Pemerintah Suriah, tidak mungkin berdiam diri sementara Turki bersikeras menginvasi wilayah Suriah dan membela berbagai kelompok pemberontak yang telah mendatangkan malapetaka di Suriah selama hampir satu dekade lalu.
Di akhir opininya, Darius menyimpulkan, mungkin inilah yang disiratkan oleh Presiden AS Donald Trump ketika dia baru-baru ini mengatakan akan menyerahkan perang melawan ISIS ke Irak, Suriah, Iran dan Rusia, sementara dia fokus pada mempertahankan kontrol minyak dan sumber daya. AS dapat duduk di pinggir lapangan dan menyaksikan negara-negara lain bertempur di antara mereka sendiri, sementara AS berkonsentrasi pada rampasan perang (di Suriah dan Irak).