SINARPOST.COM | Upaya Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang membuat Rancangan Qanun Hukum Keluarga untuk melegalkan poligami telah menjadi pembicaran hangat di kalangan masyarakat Aceh. Ragam tanggapan terkait wacana tersebut telah menghiasi lini masa Facebook, mereka (terutama laki-laki yang sudah bersuami) melalui candaannya, mengungkapkan kesenangan dan keresehaannya.
Bila Qanun Hukum keluarga yang melegalkan poligami telah disahkan, pastinya itu kabar gembira bagi para laki-laki, namun di sisi lain akan menjadi pukulan bagi seorang istri karena suaminya telah punya landasan hukum (negara) untuk memiliki istri lebih dari satu.
Sebenarnya poligami bukanlah hal terlarang. Dalam Islam, seorang lelaki memiliki istri lebih dari satu (poligami) adalah sesuatu yang diperbolehkan, Al-Qur’an jelas menghalalkan seorang lelaki untuk berpoligami hingga empat istri, dengan catatan mampu berlaku adil. Yang haram adalah poliandri (seorang wanita memiliki suami lebih dari satu).
Perihal diperbolehkannya poligami tersebut tertuang dalam Surah An-Nisa Ayat 3 yang berbunyi ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Wacana Qanun yang memperbolehkan Poligami tentu akan menjadi hal yang dilematis bagi seorang istri, dan ‘anugerah’ bagi laki-laki. Bila sebelumnya (ketentuan negara) seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari satu harus memenuhi sejumlah persyaratan, maka dengan disahkannya Qanun Hukum Keluarga ini tentu akan mempermudah langkah mereka untuk beristrikan lebih dari satu. Bukankah itu kabar yang menyenangkan?
Dalam UU Perkawinan Negara Republik Indonesia jelas disebutkan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah monogami (seorang pria hanya boleh memiliki satu orang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki satu orang suami). Namun UU Perkawinan juga memberi ruang bagi seorang suami untuk beristri lebih dari satu, namun harus melalui pengadilan dengan beberapa persyaratan seperti mendapat persetujuan dari isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak-anaknya, serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Lantas kenapa harus diperbincangkan sedemikian heboh oleh kaum lelaki di Aceh saat DPRA mewacanakan Qanun Hukum keluarga yang memperbolehkan poligami?
Kekhawatiran yang datang dari seorang istri tentu hal yang lumrah karena suami mereka sudah punya landasan hukum untuk kawin lain. Namun realitasnya yang sibuk membahas wacana diperbolehkannya poligami di medsos adalah kalangan pria, mestinya dengan adanya wacana Qanun tersebut laki-laki yang beristri duduk manis sambil tersenyum seraya menunggu kapan DPRA mengetok palu.
Mungkin ada dua alasan mendasar kenapa banyak kalangan pria di Aceh yang sibuk membahas wacana Qanun Hukum Keluarga tersebut. Pertama mereka (laki-laki beristri) adalah suami-suami yang takut istri, mereka takut dengan istrinya untuk berpoligami padahal agama dan negara memperbolehkannya. Kedua (laki-laki bujang) yang merasa resah karena saingannya untuk mendapat seorang gadis kedepan akan lebih banyak lagi — bukan hanya sesama bujangan tapi juga kalangan yang sudah beristri.
Bila Qanun tersebut disahkan tentu para bujangan harus berusaha lebih ekstra lagi untuk mendapat seorang gadis bila tidak ingin didahului oleh pria yang sudah beristri. Qanun tersebut juga akan membuka peluang bagi orang di luar Aceh yang berniat poligami untuk ber-KTP-kan Aceh
Bila para bujangan di Aceh tidak ingin para gadis idaman mereka direbut oleh pria bersuami, mereka harus menyuarakan kepada DPRA (Komisi VII) agar aturan poligami di atur lebih spesifik, dimana poligami hanya diperbolehkan dengan wanita janda, bukan gadis. Hal ini disamping menjaga peluang para bujangan untuk berkeluarga, juga untuk menyelamatkan para janda dan anak-anak yatim mendapat hidup lebih baik.