Oleh: Zul Fajri Joesva M.H*
Baru-baru ini muncul spanduk bergentayangan di area jalan raya dengan ucapan “Terima Kasih Jokowi” orkestrasi atau operasi manipulasi yang sangat masif di media sosial. Padahal sangat kontras dengan fakta sebenarnya, dimana di akhir masa jabatannya, percakapan dan mentioned tentang Jokowi sangat negatif mulai cawe-cawe di Pilpres, politik dinasti, pembegalan konstitusi, peringatan darurat, kasus ‘fufufafa’, dan persoalan kemungkinan mangkraknya IKN.
Di luar ekspektasi semua orang, tingkat approval rating/kepuasaan publik atas kinerja pemerintah mencapai 86% berdasarkan hasil rilis dari lembaga survey. Suasana antagonis dan banyak anomali antara angka numerik yang muncul di polling survey dengan realitas sosial masyarakat yang sesungguhnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan ini semua? Benarkah propaganda politik dan perang urat saraf sedang bekerja?.
Propaganda politik di era sekarang menjadi senjata pamungkas bagi penguasa untuk menstabilkan denyut nadi pemerintahannya. Manuver-manuver narasi yang dilancarkan oleh pihak oposisi dicounter dengan narasi politik dalam satu bangunan opini yang kokoh dan kuat. Tidak mudah bagi pihak lawan untuk men-downgrade wibawa pemerintah. Ada sekian banyak political will yang akan dieksekusi oleh pemerintah jika mendapat kritikan dan serangan dari masyarakat, maka pemerintah akan menghidupkan mesin propaganda politiknya guna untuk menjinakkan dan menetralisir atmosfer politik.
Joseph Goebbels (1897-1945) dikenal dalam sejarah politik Jerman sebagai seorang yang piawai, energik dan menjadi tangan kanan Adolf Hitler (1889-1945). Sebagai seorang menteri propaganda, orator yang ulung yang paling bertanggung jawab menampilkan citra yang baik dari rezim Nazi kepada rakyat Jerman. Goebbels mulai menciptakan mitos Fuhrer dan melembagakan ritual perayaan dan demonstrasi partai yang memainkan peran penting dalam mengubah massa menjadi Nazisme. Peran Goebbels yang sangat strategis dalam menjungkirbalikkan stereotype seorang Hitler dari singa menjadi seekor kelinci yang imut.
Jokowi dan Soekarno adalah dua figur politik yang handal dalam memainkan citra untuk kepentingan politiknya. Diferensiasi tampilan orientasi politik keduanya, jika Sang Proklamator terkenal dengan ‘flamboyan’, kombinasi antara maskulinitas, intelektualitas, dan estetik. Soekarno memiliki kesan entertaining-nya yang kuat dan juga punya personal branding sebagai seorang seniman sekaligus memiliki semangat die-hard naluri kesenian yang fanatik.
Sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, dan juga dipadu silauan pakaian dengan pernak-pernik pita harian yang melekat di baju kebesarannya dan tongkat komando layaknya panglima militer. Di balik kesannya yang estetik, Soekarno punya pengetahuan dan wawasan sangat mendalam dalam hal sosial kemasyarakatan, denyutan kehidupan masyarakat miskin, dan problematika masyarakat bawah. Oleh karena itu, tidak berlebihan dibalik auranya yang bercahaya Soekarno dijuluki sebagai “penyambung lidah rakyat”. Bermodal famous dan idolized, Soekarno sangat menyadari hal tersebut dan melenggang bebas dalam spektrum politik berkualitas premium.
Sementara Jokowi mampu meraih singgasana R1 dengan menampilkan dan mendemonstrasikan wajah “puritan”, perwakilan wong cilik, sosok sederhana, merakyat, dan rekognisi wong ndeso. Dalam hal kapitalisasi pencitraan, Jokowi memang seorang politikus yang cekatan dalam memanfaatkan simbol-simbol kesederhanaan dan kerakyatan untuk kepentingan politiknya. Strategi politik membangun ‘citra’ Jokowi tersebut teryata cukup mujarab. Jokowi selalu mem-personal branding dirinya sebagai sosok yang terkesan ‘merakyat’, sekaligus memiliki ciri khas dan punya add values dibandingkan dengan pendahulu sebelumnya.
Secara praksis, Jokowi merupakan manifestasi paling paripurna menggambarkan bagaimana “dramaturgi politik” bekerja. Teori dramaturgi politik yang digagas oleh Erving Goffman menarasikan bahwa realitas sosial dapat dilihat sebagai panggung yang menampilkan drama atau teater. Goffman mengkonklusikan bahwa praktik sosial individu akan menyesuaikan dengan panggung pertunjukannya yang terdiri atas panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dramaturgi dalam ruang politik sangat kental tercerminkan dalam tubuh politik Jokowi sejak pertama kali menjadi pejabat politik.
Penulis menyoroti front stage yang dilakukan Jokowi selalu menampilkan figur pemimpin dengan positive image, populis, merakyat, dan sederhana. Dapur politik untuk panggung ini, Jokowi bekerja secara fungsional sebagai seorang Presiden untuk menjalankan program-program kerja pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jokowi menginstruksikan kepala seluruh jajaran menteri kabinet maupun mitra kerja pemerintahan untuk mempercepat program pemerintah secara masif. Sementara dapur lainnya di panggung belakang, back stage selalu menjadi primadona bagi seorang Jokowi sebagai polisi tulen yang secara organik bergerak mengamankan kepentingannya.
Penjelmaan dari front stage dan back stage sebagai contohnya ketika muncul wacana penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan Presiden tiga periode. Dari balik panggung belakang, Jokowi meminta para menteri untuk mengkampanyekan wacana perpanjangan masa jabatan, sementara di panggung depannya ditata dengan sangat apik, dimana Jokowi menegur para menterinya yang mendengungkan wacana tersebut. Strategi semacam ini merupakan alat propaganda politik yang sangat efektif untuk meyakinkan publik yang seolah-oleh Jokowi sendiri sama sekali tidak menginginkan usia jabatannya ditambah, padahal di balik layar dia sendiri yang menjadi sutradara dari ini semua. Publik dihipnotis oleh silauan angka-angka survey kepuasan menjulang tinggi hingga ke “Sidratul muntaha”.
Sejak awal Jokowi sudah memainkan kartu politiknya dengan mengeksploitasi sisi kesederhanaan tubuh politiknya sebagai modal dasar masuk dalam kontestasi. Prabowo Subianto sebagai rival politiknya dalam dua laga Pilpres tahun 2014 dan 2019 berhasil ditumbangkan. Padahal sosok pesaingnya itu bukan orang sembarangan, berasal dari keluarga ningrat dan trah politik darah biru dengan mudah dilumat di perhelatan Pilpres di sepuluh dan lima tahun yang lalu.
Kesederhanaan yang diproduksi membuat masyarakat terpesona akan sosoknya. Sejak jadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta sering blusukan dan masuk gorong-gorong menjadi kekuatan politik yang paling mudah di terima masyarakat sebagai perwakilan sosok pemimpin yang berasal golongan arus bawah. Pada dua atraksi politik tersebut sangat memberikan dampak besar terhadap citra dan karier politiknya ketika masuk dalam bursa pencapresan. Yang kita rasakan hari-hari ini adalah dampak dari pemimpin yang dibesarkan dan diorbitkan oleh media sosial. Mungkin kita bertanya, mengapa sekasar ini nepotisme terjadi dengan mengacak-acak konstitusi demi untuk memuluskan putra mahkotanya masuk kandidat Pilpres 2024? Bukankah dia sosok yang sederhana? Pakaian dia memang sangat sederhana dan bersahaja, tapi nafsu syahwat libido politik kekuasaannya sangat luar biasa.
Selain citra dirinya yang dipersepsikan sosok merakyat dan sederhana, kekuatan lainnya dalam membentuk opini publik adalah penggunaan kekuatan buzzer secara terstruktur, terorganisir, sistematis, dan masif. Personil inilah sebagai alat propagandis dan pengaduk emosial publik yang memainkan peran sangat signifikan dalam memoles image dirinya. Para makelar isu seperti buzzer siang malam mendramatisir agenda setting semua kebijakan dan program kerja jokowi selama sepuluh tahun ini.
Pada level menteri kabinet sibuk mencitrakan jokowi sebagai Presiden terbaik karena mampu membuat neraca perdagangan surplus selama lebih kurang 52 bulan. Memuji diri sendiri atau “pesanan pujian” dari orang lain merupakan manifestasi dari ketidakpercayaan terhadap diri sendiri. Apalagi narsisisme itu menjadi materi kampanye memakai APBN. Realitanya, pada masa Jokowi, ekonomi hanya bertumbuh hanya 4,2 persen, jauh di bawah target 7 persen, bahkan di bawah sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang rata-rata pertumbuhan ekonomi tumbuh pada kisaran 6,2 persen. Di masa pemerintahan Jokowi pula jumlah kelas menengah turun darI 21 persen menjadi 17 persen akibat meledaknya angka PHK. Surplus neraca perdagangan yang dibanggakan hanya menyumbang 0,66 persen terhadap economic growth.
Tahun 2021 World Bank menurunkan status kelas Indonesia menjadi dari negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income country) menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income country) dan selalu dibayangi oleh ancaman middle-income trap. Kondisi ini banyak terjadi pada negara yang tak mampu berpindah dari pendapatan menengah ke pendapatan tinggi. Hal ini disebabkan karena negara tidak mampu bersaing dengan negara yang berpenghasilan lebih rendah yang sangat bergantung pada natural resources dan murahnya tenaga kerja. Selain itu, juga tidak mampu berkompetisi dengan negara maju yang mengandalkan human resource quality dan high-tech.
Proyek-proyek infrastruktur meninggalkan gurita utang dalam volume yang besar. BUMN bangkrut karena dipaksa mengerjakan proyek-proyek mercusuar. Proyek penghiliran tambang dan mineral hanya berhenti pada pembangunan smelter yang menguntungkan Cina sebagai penampung terbesar produk pemurnian mineral. Semua kegagalan itu sedang didekorasikan untuk menunjukkan kesuksesan dan keberhasilannya. Dengan menggunakan budget negara, para punggawa istana membuat campaign yang menegasikan fakta-fakta kemandulan demokrasi, kemunduran ekonomi, serta intervensi dan cawe-cawe dalam Pilpres dengan mengakali hukum dan merusak tatanan hukum tata negara. Penggiringan opini publik semacam ini adalah sebuah kejahatan propaganda politik dan perang urat saraf yang selalu menghiasi ruang publik.
Memasuki purna tugas, direncanakan akan kembali ke kediamannya di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta melalui walikota diperintahkan kepada Camat dan Lurah untuk mengerahkan masyarakat di wilayahnya masing-masing untuk berpartisipasi dalam welcoming procession di sepanjang jalan Adi Sucipto (mulai dari tugu Makhuta sampai dengan Tugu Wisnu Manahan, Jalan Letjen Suprapto dan Kelurahan Sumbar pada tanggal 20 Oktober 2024, mulai pukul 15.00 WIB-selesai). What do historians want to write about all this?.
Berangkat dari pengalaman politik pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir, ada baiknya pemimpin ke depan tidak terjebak pada lip service dalam memainkan orkestrasi politiknya. Kita semua sangat mengharapkan ruang politik kita diisi oleh tuntunan yang berisi nilai, etika, moral, dan pendidikan politik bagi publik, bukan tontonan yang selalu memainkan dramaturgi politik yang tidak sebenarnya.
*Penulis adalah penduduk Gampong Matangkeh, Kecamatan Pirak Timu, Kabupaten Aceh Utara, berdomisili di Banda Aceh.