SinarPost.com, Banda Aceh – Polda Aceh menetapkan 7 tersangka kasus korupsi beasiswa tahun 2017 melalui gelar perkara, yang dilakukan pada Selasa (1/3/2022) di Mapolda setempat.
Dirreskrimsus Polda Aceh Kombes Sony Sonjaya melalui Kabid Humas Kombes Winardy menyampaikan, bahwa di dalam gelar perkara, 7 orang dinilai memenuhi unsur untuk dijadikan tersangka atas kasus korupsi dana pendidikan.
“Berdasarkan hasil gelar perkara, 7 orang dinilai cukup unsur untuk ditetapkan sebagai tersangka,” kata Winardy, Rabu (2/3/2022) di Polda Aceh. Ke 7 orang tersebut adalah SYR selaku PA, FZ dan RSL selaku KPA, FY sebagai PPTK, serta SM, RDJ dan RK sebagai Korlap.
Terkuat hal ini, pihak Polda Aceh juga sudah melaporkan gelar perkara penetapan tersangka tersebut baik ke Bareskrim Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai penetapan tersangka kasus beasiswa tidak masuk akal. Menurut Askhalani, mestinya oknum Anggota DPRA juga menjadi tersangka karena bila dilihat secara utuh, oknum Wakil Rakyat yang tersandung didalamnya ikut menikmati aliran beasiswa melalui pemotongan yang dilakukan oleh koordinator di lapangan.
“Merujuk pada objek perkara yang ditangani oleh Polda Aceh maka tidak tepat yang kemudian ditetapkan tersangka adalah para pihak yang mengelola pada proses tahapan administrasi saja dan serta hanya disasar pada pelaku yang sama sekali tidak pernah mendapatkan manfaat dari perbuatan yang dilakukan,” kata Askhalani dalam siaran persnya kepada wartawan, Rabu (2/3/2022).
“Seharusnya perkara ini harus dilihat utuh secara rentetan peristiwa pidana diantaranya meraka yang memperkaya diri sendiri dan salah satu pihak yang diduga terbukti melakukan adalah oknum anggota DPRA yang juga melakukan unsur perbuatan secara terencana dan sangat terstruktur yaitu memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan jabatan yang melekat,” sambungnya.
Lebih lanjut, Koordinator GeRAK Aceh itu menuturkan, kalau melihat dari sisi dan proses penegakan hukum dan ini pasti ada sesuatu yang tidak logis dan masuk akal, karena semua publik tahu yang melakukan perbuatan adalah orang lain yang memang meraup keuntungan secara terang-terangan.
“Ini patut diduga ada yang dilindungi dan sama sekali tidak melihat perbuatan pidana pada siapa yang menyuruh dan mendapatkan keuntungan, jika model penegakan hukum seperti ini maka sampai kapanpun kepercayaan publik akan tidak percaya dengan proses penegakan hukum yang hanya sekedar selesai, dan sama sekali tidak melihat pada perilaku dan dampak kerugian keuangan negara yang masif di lakukan secara terencana dan sistematis,” pungkasnya.