SinarPost.com, Banda Aceh – Muda Seudang melakukan audiensi dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dalam rangka untuk mengetahui langsung perkembangan dan kejelasan pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2022, di kantor KIP Aceh Jln. Teungku Nyak Arif, Jeulingke, Banda Aceh, Jum’at, (19/3/2021).
Kehadiran Muda Sedang ke KIP Aceh bagian dari komitmen Muda Seudang yang terus mengawal agar Pilkada Aceh dapat terselenggara pada tahun 2022 sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
“Pilkada Aceh harus berjalan sesuai dengan kekhususan Aceh, yaitu pada tahun 2022 yang telah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 12 tahun 2016,” ujar Ketua Muda Seudang, Agam Muhajir.
Sebelumnya, Muda Seudang juga menyurati DPRA dan Gubernur Aceh untuk beraudiensi. Namun, hanya KIP yang telah merespon.
“Sebenarnya, kita juga telah menyurati Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, namun hanya KIP yang baru merespon. Semoga DPRA dan Gubernur Aceh juga secepatnya merespon surat kami. Sehingga kami mendapatkan informasi yang komprehensif,” terang Kepala Sekretariat Muda Seudang, Bahagia.
Mereka meminta semua pihak berkepentingan harus bertanggungjawab bila Pilkada Aceh di 2022 gagal terlaksana sebagaimana jadwal yang telah di tetapkan.
“Bila Pilkada pada 2022 gagal, maka segenap stackholder telah melanggar UUPA. UUPA itu perwujudan UUD 1945 Pasal 18B. Artinya, Eksekutif, Legislatif dan penyelenggara telah melanggar Konstitusi Negara. Mereka wajib bertanggungjawab,” tegas Syarbaini yang juga Juru Bicara Muda Seudang.
Hadir dalam pertemuan tersebut Agam Nur Muhajir (Ketua), Syarbaini (Jubir), Bahagia (Kepala Sekretariat) dan anggota lainnya. Sedangkan KIP langsung di pimpin oleh Samsul Bahri (Ketua), Tarmizi (Wakil Ketua), Ranisah, Akmal, Husni dan Munawar.
Dalam pertemuan tersebut, Samsul Bahri menjelaskan bahwa persoalan regulasi tidak ada masalah dan tidak terjadi khilafiyah, semua berjalan sesuai aturan hukum.
“Regulasi pelaksanaan Pilkada di Aceh tidak ada khilafiyah. Dasar hukumnya ada pada Pasal 18B konstitusi, Pasal 65 jo Pasal 67 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kemudian ada Qanun Pilkada Aceh Nomor 10 tahun 2016.” papar Samsul.
Perihal ada beberapa suara sumbang di publik yang membenturkan antara UUPA dengan UU Pilkada Nasional, Samsul menjelaskan hal tersebut tidak ada masalah.
“Sebenarnya tidak ada konflik regulasi, hal itu terdapat pada Pasal 199 UU Nomor 10 tahun 2016 yang mana mengatakan UU tersebut berlaku untuk Aceh sejauh tidak diatur khusus. Nah, Pilkada Aceh itu kan khusus, sudah diatur dalam UUPA, jadi tidak ada perdebatan soal ini,” jelasnya.
Perihal terkait anggaran pelaksanaan Pilkada, Ranisah dari devisi anggaran KIP mengatakan bahwa KIP sudah memberitahukan perihal adanya Permendagri Nomor 90 tahun 2019 yang memberlakukan E-Budgeting dan tidak tersedianya nomenklatur dan kode rekening untuk dana Pilkada dalam aturan baru tersebut.
“Pada Mai 2020 kami sudah menyerahkan Rancangan Kebutuhan Anggaran Pilkada ke Pemerintah Aceh. Kami juga sudah menjelaskan perihal E-Budgeting itu sekitar bulan Februari 2020” kata Ranisah.
Hal tidak jelas adanya anggaran Pilkada tersebut membuat KIP enggan menetapkan Jadwal Tahapan Pilkada pada mulanya. Namun, setelah diyakinkan oleh DPR Aceh dan Pemerintah Aceh bahwa anggaran sudah tersedia, maka KIP tanpa ragu menetapkan tahapan.
“Urusan KIP menetapkan Tahapan Pilkada, soal anggaran, itu urusan kami,” ulang Samsul mengingat momen ketika di desak DPRA dan Pemerintah Aceh.
Namun hingga kini, 10 hari menjelang tahapan Pilkada anggaran untuk itu belum tersedia.
Samsul mengeluhkan bahwa selama ini pemerintah Aceh tidak membantu KIP Aceh dalam menjalankan Pilkada sejak perencanaan pada awal 2020 silam.
“Kami jujur saja, selama ini tidak ada uang sepeser pun yang diberikan pemerintah Aceh untuk KIP. Semua yang kita jalankan, seperti FGD dengan berbagai kalangan, itu uang APBN yang kita sisihkan. Termasuk cemilan di depan adik-adik, itu uang APBN bukan anggaran Pilkada, yang seharusnya itu masuk dalam uang Pilkada,” keluh Samsul.
Sedangkan Divisi Sosialisasi Akmal Abzal menilai tidak berjalannya Pilkada Aceh sebagaimana harapan, tidak terlepas faktor eksternal yaitu menurunnya animo masyarakat dan hal tersebut karena trust publik.
“Pilkada 2017 lalu, saya komisioner KIP juga, pada saat itu partisipasi publik itu sangat tinggi, sehingga semuanya terdorong untuk bergerak. Sekarang, kami hanya melihat Muda Seudang yang sejak awal kami melihat terus aktif mendorong Pilkada terlaksana, dan kemarin ada Aceh Sosial Comunity” ungkap Akmal.
Samsul juga mengahrapkan pemerintah Aceh dan DPRA menggandeng KIP Aceh untuk melakukan koordinasi dengan pemerinta pusat secara bersama-sama.
“Kami berharap Pemerintah Aceh dan DPRA mengajak kami bersama-sama menghadap ke pemerintah Pusat. Berikan kami juga anggaran untuk berangkat, kami tidak punya dana bagaimana mau begerak. Jika semua komitmen, ayo mari sama-sama, jangan sendiri-sendiri,” pinta ketua KIP Aceh itu.
“Kami sudah lelah dengan berbagai permainan politik ini. Kami (KIP) di mata publik seolah tidak bekerja sama sekali. Padahal kami sudah maksimal dalam bekerja. Tahapan sudah kami tetapkan. Sekarang uangnya gak ada,” tutupnya.