SinarPost.com – Gesekan antara Organisasi Masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) dengan negara kembali menghangat seiring kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi. Habib Rizieq adalah Imam Besar FPI yang selama ini bersama pengikutnya sangat keras mengkritik dan melawan pemerintah.
Kini FPI disorot habis karena dua aksi yang kontroversi. Pertama tentu saja saat penjemputan Habib Rizieq di Bandara Soekarno-Harta yang massanya membludak, sehingga mengakibatkan kemacetan yang cukup panjang dan berimbas kepada calon penumpang yang hendak ke bandara.
Aksi kontroversi kedua adalah terkait kerumunan pada acara Maulid Nabi dan pernikahan anak Habib Rizieq yang berlangsung di kediamannya, kawasan Petamburan, Jakarta Pusat. Acara ini dianggap melanggar protokol kesehatan Covid-19, sehingga berimbas kepada sejumlah pejabat di DKI Jakarta.
Karena hal tersebut, para petinggi FPI dan pengikutnya bersitegang dengan negara, bahkan belum selesainya masalah kerumunan simpatisan FPI yang tengah diusut Polda Metro Jaya, TNI pun ikut turun tangan mencopot spanduk bergambar Habib Rizieq yang terpasang secara disejumlah lokasi di Jakarta.
Bahkan pasukan khusus TNI ikut berpatroli di sekitar markas FPI di Jakarta. Dalam hal ini, sebagian masyarakat mendukung sikap tegas negara, namun ada juga masyarakat yang menilai negara terlalu paranoid dengan Habib Razieq dan Ormas FPI-nya.
Karena masalah ini, FPI kembali terancam dibubarkan. Permintaan pembubaran FPI secara tegas disampaikan Panglima Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) Mayjen TNI Dudung Abdurachman. “Kalau perlu FPI bubarkan saja itu. Bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI, mari. Sekarang kok mereka ini seperti yang ngatur suka-sukanya sendiri, saya katakan itu perintah saya,” tegasnya.
Bahkan desakan pembubaran FPI juga muncul dari beberapa kalangan masyarakat yang merasa risih dengan FPI. Tentu saja ini bukan kali pertama FPI dihadapkan dengan ancaman pembubaran. Sebelumnya FPI sudah beberapa kali diancam dibubarkan karena aksinya yang kontroversi dan “melawan negara”.
Sejarah dan Track Record FPI
Dikutip dari Wikipedia, Ormas FPI dideklarasikan beberapa bulan setelah tumbangnya Presiden Soeharto atau tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1998 di halaman Pondok Pesantren Al Um, Ciputat, Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek.
FPI berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum Islam, serta amar ma’ruf – nahi munkar. Mengusung pandangan Islamisme konservatif, FPI memiliki basis massa yang signifikan dan menjadi motor di balik beberapa aksi besar pergerakan Islam di Indonesia, seperti Aksi 2 Desember 2016.
Pada tahun 2002 di tablig akbar ulang tahun FPI yang juga dihadiri oleh mantan Menteri Agama, Said Agil Husin Al Munawar, FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan tanggal 22 Juni 1945.
Karena eksistensinya yang memperjuangkan syariat Islam dan bukan menggelorakan Pancasila inilah yang kemudian muncul wacana dan Pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang bermasalah pada tahun 2006.
FPI juga terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar “paramiliternya” yakni Laskar Pembela Islam, lewat aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat. FPI kerap dikritik oleh berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain.
Di samping aksi kontroversial yang dilakukan, FPI juga kerap melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan seperti pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh, bantuan relawan dan logistik saat bencana gempa di Padang dan berbagai aktivitas kemanusiaan lainnya.