Oleh: Syawitri Rauziah*
“Jika membaca adalah cara untuk mengenal dunia, maka menulis adalah cara agar dunia mengenal kita”
Saya adalah pembaca setia website-website yang bercerita tentang indahnya negri-negri diberbagai belahan dunia, saya selalu jatuh cinta pada kisah-kisah, kebudayaan dan keunikan negara-negara lain yang diceritakan dengan susunan kata yang menarik, meski saya hanya sebagai penikmat yang mengenalnya melalui buku. Benar kata pepatah, “Membaca adalah jendela dunia” tak perlu harus terbang ke Turki untuk tau sejarah peradaban Islam di Turki, tak perlu pergi jauh-jauh ke Antartika untuk mengetahui bagaimana keadaan benua yang dijuluki sebagai “benua yang berdenyut” tersebut. Jika belum ada kesempatan, kamu cukup menjelajahi dunia lewat buku-buku.
Namun, satu hal yang tidak dapat kita pungkiri, setelah membaca sebuah buku, sebuah karya tulisan, 50% bahkan bisa sampai 80% dari yang kita baca tersebut akan hilang dari ingatan. Tentu kita tidak ingin hal yang demikian terjadi terus-menerus. Jadi solusinya apa? Menulis!. Dengan menulis setiap yang kita baca tidak akan ikut terbang bersama imajinasi, mencatat kembali adalah upaya untuk melawan lupa.
Pepatah mengatakan, “Ilmu itu seperti burung, tangkap ia dengan cara menulisnya”. Begitulah ilmu, jangan lengah dan jangan sampai lepas. Ikat ia dengan menulis. Namun, banyak orang yang mengaggap bahwa menulis adalah sebuah kegiatan yang membosankan. Duduk berjam-jam didepan laptop dan ditemani dengan bisingnya suara kyboard. Ada juga yang mengatakan bahwa menulis adalah hobinya para kaum-kaum galau. Bahkan, saya pernah mendengar sendiri ada yang mengatakan bahwa menjadi penulis tidak punya masa depan yang jaya. Tolong, bagi teman-teman yang membaca tulisan ini, buang jauh-jauh stigma negatif tentang menulis. Mereka berbicara demikian karena belum mengetahui dampak positif dari menulis.
Kutipan paling legendaris dari Pramoedya adalah “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Kutipan tersebut jelas menyebut betapa pentingnya menulis. Sehebat dan semasyhur apapun seseorang, lambat laun akan terlupakan dalam ingatan masyarakat. Sejarah hidupnya tak dikenal dimasa yang akan datang. Maka ukirlah sejarahmu lewat tulisan-tulisan agar jikapun suatu saat nanti kamu sudah tiada, namun kisahmu tetap hidup lewat karya-karyamu.
Masih segar di ingatan saya, ucapan dari Uda Ahmad Fuadi, penulis novel “Negri 5 Menara”, di seminar online kepenulisan bulan Mei lalu. Salah satu manfaat menulis adalah belajar. Yaitu belajar melunakkan ego. Dengan menulis, berarti kita membuka diri untuk kritik. Ketika kita sudah berani mempublikasikan tulisan-tulisan kita, kritikan mulai mendatangi. Maka disitulah kita belajar untuk menerima saran maupun kritikan yang terkadang kritikannya tak kalah pedas dengan sensasi samyang ekstra pedas. Tapi jangan goyah. Jadikan itu pupuk untuk tumbuh subur.
Untuk menjadi “seseorang” memang selalu ada duri ditengah jalan. Apalagi bagi penulis yang pemula, banyak tantangan yang harus meraka hadapi. Mulai dari ide yang macet, tidak tahu harus memulai tulisan dari mana, kehilangan kosa kata yang bagus agar indah di lisan para pembaca, dan mental yang belum kuat. Karena satu atau dua tulisan yang belum berhasil diterbitkan, akhirnya jadi patah semangat dan jadi malas untuk mengasah kemampuan menulisnya. Itu semua wajar, tapi jangan jadikan itu sebagai alasan untuk berhenti menulis.
Mulailah menulis hal-hal yang sederhana. Kamu bisa menceritakan tentang nakalnya kucing oren kesayanganmu, kamu bisa ceritakan kronologi nasi goreng gosong buatan kakakmu, dan masih banyak yang bisa kamu sampaikan lewat tulisan. Bahkan ketika kamu tidak tau harus menulis apa, tuliskan saja. Hanya dengan menulis kamu bebas. Bebas berekspresi dan bebas berkreasi tanpa batas. Jangan pernah ragu menuliskan apapun yang kamu mau, sebab setiap tulisan memiliki penikmatnya masing-masing.
Selain dari apa yang dikatakan oleh Uda Ahmad Fuadi tadi, masih banyak manfaat menulis yang dapat saya rasakan sendiri. Pertama, menulis adalah cara saya meluapkan ide, gagasan, pikiran dan perasaan yang selama ini mungkin tertahan. Saya dapat menuliskannya dengan bebas. Kedua, menulis juga sebagai wadah meluapkan segala emosi. Kamu bisa meluapkan segala emosimu lewat tulisan. Jika kamu sedang merasa marah, kecewa, bahagia atau sedih dan kamu tidak bisa menceritakan itu kepa orang lain, maka tuangkanlah dalam tulisan. Cara ini saya rasa dapat menghilangkan rasa yang mengganjal di hati.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Susan Bauer-Wu peneliti dari Harvard University, beliau mengatakan bahwa menulis berdampak baik bagi kesehatan. Seperti meringankan beban karena kanker dengan melakukan terapi jurnal dan menulis ekspresif. Selain sebagai terapi kanker, banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa menulis juga sebagai terapi kesehatan mental. Kebanyakan orang yang memiliki trauma masa lalu akan merasa lebih baik setalah menulis. Karena beban batin dan pikiran mereka dapat diluapkan lewat tulisan. Karena dengan menulis kamu seperti sedang menceritakannya kepada orang lain tapi dalam bentuk tulisan.
Sebuah tulisan tentunya membawa sesuatu dan ingin memberi sesuatu. Maka tebarlah kebaikan lewat tulisan. Sampaikan sesuatu dengan baik dan beri manfaat pada orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”. Kita tidak pernah tau berapa banyak orang yang membaca tulisan kita. mereka tidak memberi jempol dan tidak juga berkomentar. Tapi mereka menangkap pesan yang kamu sampaikan lewat tulisanmu. Lalu merenungnya dan akhirnya mengamalkannya.
Penulis tidak pernah dilahirkan, tetapi ia diciptakan. Karena menulis itu adalah kebiasaan yang dilatih, bukan selalu sebagai bakat yang dibawa sejak lahir. Menjadi seorang penulis yang dibutuhkan hanyalah kemauan yang keras dan kemudian mempraktekkannya. Namun jika seseorang memiliki kemauan untuk menjadi penulis, namun tidak pernah mempraktekkannya dan terus berlatih, maka ia sama saja seperti bermimpi untuk memiliki rumah mewah, tapi tidak ada usaha dan kerja keras untuk memilikinya. Kalimat “akan indah pada waktunya” kalau tidak dibarengi dengan usaha, tentu tidak akan indah sama sekali. So, belajar dan berusahalah untuk menulis!!
*Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry.
~Catatan~
SinarPost.com menerima karya tulisan dalam bentuk Opini dan Jurnalisme Warga. Kirimkan tulisan anda ke redaksisinarpost@gmail.com.