SinarPost.com – Di Indonesia, setiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari Pahlawan diperingati untuk mengenang sekaligus mengingat jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman para penjajah.
Ada ratusan pahlawan nasional yang telah ditetapkan pemerintah dari jutaan para pejuang kemerdekaan saat itu, dan delapan diantaranya berasal dari Aceh. Siapa saja para pahlawan nasional dari Aceh? Berikut uraian dan biografi singkat pahlawan nasional dari Aceh yang dirangkum SinarPost.com dari berbagai sumber.
1. Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda bukan hanya dikenal di Nusantara, tapi namanya juga masyhur di seantero dunia. Dia adalah seorang Raja yang memimpin Kerajaan Aceh kurun waktu 1607–1636 Masehi. Iskandar Muda lahir di Banda Aceh (Koetaradja), Kesultanan Aceh pada tahun 1593. Sejak di usia remaja ia telah memperlihatkan kemampuannya dalam memimpin, termasuk memukul mundur pasukan Portugis yang mencoba mendarat di pantai Aceh.
Karena kecerdasan dan keberaniannya, tak heran jika dia diangkat sebagai Sultan saat usia masih muda. Iskandar Muda dinobatkan sebagai Sultan Aceh pada 1607 dalam usia 14 tahun, yang menggantikan Sultan Ali Riayat Syah. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaan yang wilayah kekuasaannya mencakup Sumatera dan sebagian daerah Malaysia seperti Johor dan Kedah. Kesultanan Aceh saat itu masuk dalam jajaran lima besar kesultanan Islam terbesar di dunia.
Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu pemimpin yang agamis dan merakyat, yang mengedepankan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya dalam bingkai syariat Islam. Sultan Iskandar Muda meninggal dunia pada 27 September 1636 dalam usia 43 tahun. Atas jasanya kepada negara, Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.077/TK/Tahun 1993.
Namanya juga diabadikan dalam berbagai tempat di tanah air, seperti nama jalan, nama kampus Sultan Iskandar Muda, nama bandar udara internasional Sultan Iskandar Muda, hingga nama Komando Daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda.
2. Laksamana Malahayati
Laksamana Malahayati merupakan salah satu nama yang sangat melegendaris di dunia. Dia adalah seorang pejuang perempuan yang berasal dari Kesultanan Aceh yang ditakuti dunia kala itu. Laksamana Malahayati lahir pada tahun 1550 di Aceh Besar, Kesultanan Aceh. Dalam karirnya, Malahayati pernah menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Pada 11 September 1599, malahayati memimpin 2000 orang pasukan Inong Balee (janda pahlawan yang gugur) untuk berperang melawan kapal serta benteng Belanda. Dalam perlawanannya tersebut ia membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Gelar Laksamana kemudian disematkan karena keberaniannya ini. Makamnya berada di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.
Namanya diabadikan dalam banyak hal, antara lain pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, kapal perang jenis Fregat kelas Fatahillah milik TNI AL (KRI Malahayati), Universitas Malahayati di Bandar Lampung, diceritakan kembali dalam film pada 2007, dan dipakai untuk divisi wanita ormas Nasional Demokrat bernama Garda Wanita Malahayati. Laksamana Malahayati menyandang gelar pahlawan nasional dari pemerintah pada 6 November 2017.
3. Teuku Umar
Teuku Umar lahir di Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854 dan meninggal pada 1899 di Meulaboh juga. Ia adalah pahlawan nasional yang mulai ikut perang melawan Belanda saat usia 19 tahun dalam Perang Aceh 1873. Teuku Umar terkenal dengan strategi perang gerilyanya kala melawan penjajah Belanda. Kisahnya yang melegendaris adalah ketika berpura-pura menyerahkan diri dan bekerjasama dengan Belanda, lalu melarikan diri dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, dan uang 18.000 dollar.
Setelah menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang, ia lalu menikah lagi dengan Nyak Malighai, putri Panglima Sagi XXV Mukim. Pada 1880, Teuku Umur menikahi Cut Nyak Dhien, janda dari Ibrahim Lamnga yang meninggal karena melawan Belanda. Keduanya kemudian berjuang bersama untuk melawan Belanda. Teuku Umar gugur pada tahun 1899 dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Jenderal Van Heutsz yang menghadangnya di Meulaboh.
Teuku Umar diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 1955 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 217/1955. Nama Teuku Umar juga diabadikan di berbagai tempat, seperti nama jalan, nama kapal perang TNI AL (KRI Teuku Umar 385), serta nama Universitas Teuku Umar di Meulaboh.
4. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien lahir pada 1850 dan meninggal tahun 1908. Ia adalah istri Teuku Umar dan melanjutkan perjuangan suaminya melawan pasukan Belanda di pedalaman Meulaboh, Aceh Barat. Cut Nyak Dhien ditangkap Belanda ketika sudah berusia tua dan rabun karena laporan salah seorang pengikutnya bernama Pang Laot. Konon ia melaporkan Cut Nyak Dhien karena merasa iba dengan kondisinya yang telah digerogoti berbagai penyakit.
Cut Nyak Dhien kemudian dibawa ke Banda Aceh dan dirawat hingga sembuh. Karena dianggap masih dapat memberikan pengaruh kuat kepada rakyat Aceh, ia kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, hingga meninggal pada 6 November 1908. Makamnya berada di daerah Gunung Puyuh, Sumedang, yang baru ditemukan pada 1959 setelah dilakukan pencarian atas permintaan Ali Hasan, Gubernur Aceh saat itu. Ia diberikan gelar pahlawan nasional pada tahun 1964.
5. Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Mutia adalah seorang pejuang perempuan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Ia lahir di Keureutoe, Aceh Utara, pada 15 Februari 1870. Pada masa hidupnya, Cut Meutia berjuang bersama pasukan Inong Balee melawan penjajah Belanda.
Ia juga melanjutkan perjuangan suaminya, Teuku Chik Tunong yang meninggal dunia. Ia berjuang bersama suami keduanya yang bernama Pang Nanggroe, yang gugur juga pada 16 September 1910. Pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia terlibat bentrok dengan pasukan Marsose di Alue Kurieng dan gugur disana. Gelar pahlawan nasional didapatkannya bersama Cut Nyak Dhien di tahun 1964.
6. Teuku Cik di Tiro
Teuku Chik di Tiro adalah seorang ulama sekaligus panglima besar perang Aceh. Pria kelahiran tahun 1836 ini bernama asli Teuku Muhammad Saman. Ia muncul menjadi pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda mulai menyurut pada 1881.
Delapan tahun setelah Belanda menyatakan perang terhadap Aceh, Teuku Chik di Tiro bersama Teuku Chik Pante Kulu mengobarkan semangat untuk melakukan perang Sabil di jalan Allah. Sekitar tahun 1881, ia hijrah ke Aceh Besar dari Lamlo, Pidie dan menjadikan basis gerilyawan di Desa Meureu, Indrapuri.
Dari sana Teuku Chik Tiro bersama pasukannya merebut satu persatu benteng Belanda, membuat Belanda kewalahan hingga empat kali mengganti gubernur saat masa perlawanan beliau. Teuku Chik Tiro meninggal dunia karena diracun oleh seorang perempuan Aceh lewat makanan yang disajikan pada 1891 dan dimakamkan di Desa Meureu, Indrapuri. Gelar pahlawan nasional dianugerahkan pada tahun 1973.
7. Teuku Nyak Arif
Teuku Nyak Arief merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang dianugerahkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1974. Teuku Nyak Arief juga merupakan Residen/Gubernur Aceh pertama yang memimpin sejak 3 Oktober 1945 sampai dengan Januari 1946.
Teuku Nyak Arief lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh (dulu Kutaraja) pada tanggal 17 Juli 1899. Ayahnya adalah seorang Ulee Balang bernama Teuku Nyak Banta dan ibunya bernama Cut Nyak Rayeuk. Kedudukan Teuku Nyak Banta kala itu adalah sebagai Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Aceh Besar. Teuku Nyak Arief merupakan anak ke 3 dari 5 bersaudara.
Semasa hidupnya, Teuku Nyak Arief beserta tokoh-tokoh Aceh lainnya, memiliki andil yang besar bagi Republik Indonesia dalam perjuangan meraih kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda dan jepang. Beliau juga dikenal sebagai sosok bijak yang mementingkan kepentingan rakyat Aceh ketimbang tampuk kekuasaan.
Setelah Republik Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Teuku Nyak Arief diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (K.N.I) daerah Aceh tanggal 29 Agustus 1945. Untuk memikul biaya perang (perjuangan) yang semakin berat maka Teuku Nyak Arief menjual harta benda pribadinya termasuk segala perhiasan emas milik istrinya, demi kelancaran perjuangan untuk mempertahankan tanah air Indonesia.
Kemudian Pemerintah Indonesia pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan surat ketetapan No. 1/X dari Gubernur Sumatra Mr. Teuku Muhammad Hasan mengangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen/Gubernur Aceh.
Teuku Nyak Arief meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon. Jenazahnya dibawa ke Kutaraja dan dikebumikan di tanah pemakaman keluarga pada tepi sungai Lamnyong di Lamreung, Aceh Besar.
8. Teuku Muhammad Hasan
Teuku Muhammad Hasan lahir di Sigli pada 4 April1906. Ia seorang aktivis kemerdekaan dan Gubernur pertama Sumatera. Kalangan pergerakan menyebutnya Mr. Muhammad Hasan. Ketika bersekolah di Universitas Leiden, Belanda pada usia 25 tahun, ia bergabung dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Muhammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo.
Pernah juga menjadi salah satu anggota PPKI yang merumuskan dasar-dasar negara Indonesia dengan dipimpin Ir. Soekarno. Ia bersama Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumbar ketika terjadi Agresi Militer Belanda II.
Ia juga mendirikan Universitas Serambi Mekah yang masih ada hingga sekarang. Teuku Muhammad Hasan meninggal pada 21 September 1997 di usia 91 tahun dan dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 2006.