SinarPost.com, Jakarta – Menyusul ketegangan yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS), Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah menyiagakan rencana pengamanan aset strategis nasional, yakni wilayah teritorial strategis darat atau laut yang kaya akan sumber daya alam. Dengan kata lain, ia berharap pemerintah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi di LCS, yakni dengan memperkuat pendataan aset nasional strategis di wilayah kedaulatan Indonesia.
Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini juga mengingatkan pemerintah agar terus waspada terhadap ancaman perang karena perebutan sumber daya alam (resources war), mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Menurutnya, sengketa di LCS yang semakin panas akhir-akhir ini, berbagai modus akan dikembangkan oleh negara kuat untuk menguasai, meski sumber daya alam tersebut berada dalam yuridiksi negara lain.
“Karena itu kita harus mengembangkan sistem kewaspadaan dini dengan menerapkan deteksi dini dan respons dini terhadap berbagai kemungkinan ancaman terhadap sumber daya alam kita. Penelitian, penyelidikan dan pemutakhiran data sumber daya alam termasuk persebarannya menjadi langkah strategis,” ujar Mulyanto dalam keterangannya, Selasa (3/11/2020).
Manajemen data sumber daya alam ini, lanjutnya, bukan saja penting dalam kerangka kalkulasi neraca sumber daya alam dan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi juga dalam kerangka kewaspadaan nasional secara umum. Dari data persebaran sumber daya alam ini akan diketahui titik-titik teritorial krirtis, yang perlu kewaspadaan nasional tinggi.
“Seperti diketahui alasan dari sengketa tersebut bukan hanya karena Laut China Selatan adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia dan merupakan tempat bagi beberapa jalur pelayaran tersibuk di dunia, tapi di kawasan ini tersedia banyak sumberdaya alam dari berbagai komoditas,” imbuh legislator dapil Banten III itu.
Laut China Selatan merupakan wilayah bagi sumber penangkapan ikan yang melimpah. Menurut penelitian pada tahun 2012, tangkapan tahunan di kawasan itu, mencapai sekitar 10 juta ton, yang berarti sekitar 12 persen dari total tangkapan dunia. Di sana terdapat sekitar 11 miliar barel minyak dan gas alam 190 triliun kaki kubik (tcf), sekitar dua kali lipat dari cadangan gas Indonesia, yang belum dieksploitasi di laut. Jumlah yang sangat besar.
Menurut Mulyanto, meskipun Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah kemaritiman dengan Tiongkok di LCS tapi kewaspadaan untuk mengamankan wilayah itu sangat diperlukan.
Menurut Menlu Retno Marsudi, berdasarkan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Hukum Kelautan (UNCLOS) 1962, Indonesia tidak memiliki klaim wilayah yang tumpang tindih dengan Tiongkok. Namun aktivitas kapal-kapal Tiongkok di dekat perairan Natuna kerap mengkhawatirkan pemerintah. Pada Januari lalu misalnya, tiga kapal perang Republik Indonesia (KRI), kembali mengusir kapal ikan Tiongkok saat mencari ikan di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Tak tanggung-tanggung, 30 kapal nelayan itu menebar jala di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dengan kawalan Coast Guard Tiongkok.
Mulyanto minta Pemerintah mencermati laporan SKK Migas tentang hasil pengeboran migas di Formasi Udang yang mengalirkan hidrokarbon berupa gas sebesar 11,2 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Temuan ini menurut SKK Migas menunjukkan bahwa potensi gas bumi di wilayah Natuna sangat menjanjikan. Diperkirakan cadangan gas di natuna mencapai sebesar 46 tcf.
Jumlah itu asih jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan gas di Blok Masela, yang sebesar 16 tcf. Perusahaan migas Cina, Petrocina jauh-jauh hari mengincar Blok East Natuna ini. “Untuk itu, pemerintah jangan lengah mengamankan kawasan strategis nasional yang kaya sumber daya alam. Jangan sampai kawasan tersebut diintervensi oleh negara lain,” pesan Mulyano.