Oleh : Syah Reza*
Sekalipun kisruh keagamaan di Aceh sudah berlalu, tema itu masih saja melintasi wacana di sosial media. Hadirnya ragam perspektif, analisis, bahkan ada yang ikut merespon sekalipun diluar kapasitas, tetap saja polemik tersebut tak kunjung reda. Mengambang seakan tak ada penyelesaian. Tampak dipermukaan sudah usai, padahal terdiam ibarat bom waktu menunggu meledak.
Polemik keagamaan bukan hal yang baru sepanjang sejarah Islam. Dinamika perbedaan itu sering hadir, sekalipun tidak dominan. Mengelinding di setiap zaman. Seakan ada proses alamiyah (sunnatullah) di balik itu yang dihadirkan oleh Al-Haqq mengisyaratkan pergantian zaman. Menseleksi manusia terbaik dan terburuk agar menjadi catatan sejarah di era berikutnya. Itu tampaknya salah satu hikmah hadirnya perbedaan.
Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Tepatnya rahmat kata Nabi (Al-Ikhtilafu Ummati Rahmatun). Ia adalah salah satu dari esensi penciptaan alam dengan adanya dua hal berlawanan, pergantian siang dan malam, matahari dan bulan, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk dan sebagainya. Melalui sifat Al-‘Alim dan Al-Khaliq, mungkin Allah ingin mempertegas Keagungan-Nya. Juga tanda agar manusia memanfaatkan potensi akalnya untuk berfikir bagaimana menyikapi setiap perbedaan yang hadir.
Sikap Beragama
Di Aceh dinamika perbedaan dalam pengamalan agama telah terekam dalam catatan sejarah abad 18M. Ketika kaum wujudiyah menjadi oposisi mengkritik pemerintah Sri Ratu Safiatuddin, Syeikh Nuruddin selaku Qadhi Malikul Adil (penasehat agama pemerintahan) mengeluarkan fatwa Dzindiq kepada penganut ajaran tersebut yang sempat menjadi mazhab pemerintahan sebelumnya. Lalu pemerintah dibawah Sultanah mengejar dan menangkap pengikut paham wujudiyah karena banyak pengamalan yang menyimpang dari ajaran Islam. Salah satu ajaran yang menyimpang yaitu gugurnya kewajiban menjalankan syariat agama bagi yang sudah mencapai maqam tertentu dalam kesufian. Menariknya bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh Syekh Nuruddin atas mazhab wujudiyah itumengedepankan sisi ketinggian ilmu berasaskan adab. Ada catatan sejarah yang mengungkapkan bahwa Syekh Nuruddin menunggu wafatnya Syekh Syamsuddin as-Sumatra’i (Qadhi sebelumnya pembawa ajaran wujudiyyah) untuk mengeluarkan fatwa Dzindiq atas mazhab tersebut. Sebuah potret mengedepankan adab sesama ulama.
Bentuk kritikannya pun juga patut ditauladani, dimana Syekh Nuruddin mengedepankan sisi argumentasi ilmiah, berupa bantahan, jawaban secara detail dalam bentuk karya seperti yang tertuang dalam Hujjatul siddiq li daf’i az-dzindiq, at-Tibyan fi Ma’rifatul adyan, dan sebagian besar karyanya. Artinya, pola intelektual tetap menjadi atribut utama (yang paling beradab) dalam menjawab persoalan agama di tengah masyarakat. Hal itu mencirikan tingginya peradaban Aceh ketika itu. Berbeda dengan saat ini dimana sikap reaktif secara fisik lebih ditonjolkan saat menyikapi perbedaan pandangan agama di masyarakat.
Isu agama memang seksi, ibarat magnet. Menarik tensi manusia untuk berbicara, tak mengenal tempat, tema maupun otoritas. Terkadang wilayah non-prinsip (furu’iyyah) seperti qunut dan ibadah sunnah malah menjadi tema sepanjang abad yang perbedaannya itu tampaknya terus dirawat. Padahal wilayah itu terbuka ruang toleransi yang tinggi. Idealnya tak patut pula wilayah cabang dalam agama itu dijadikan justifikasi (tahkim) atas mazhab seseorang. Karena konsekuensi akan terbentuknya gap sosial, ujungnya mengarah pada keretakan hubungan sesama muslim. Akhirnya, keretakan itu merusak persatuan ummat (ummatan wahidah). Bukankah persatuan ummat adalah persoalan prinsip dalam Islam yang mestinya dijaga diatas lainnya?
Pola Rekonsiliasi
Sikap yang terlalu cepat mengedepankan reaksi fisik dalam menyikapi perbedaan pandangan bukti lemahnya ilmu agama. Padahal Islam telah menawarkan solusi atas setiap persoalan di antara ummat itu dengan bermusyawarah (QS. Ali Imrah: 159). Artinya, mengedepankan rekonsiliasi melalui komunikasi. Jika dilihat dalam sejarah, struktur sosial masyarakat Aceh juga demikian. Setiap persoalan yang muncul ditengah masyarakat, musyawarah dikedepankan. Terlebih persoalan agama yang menjadi identitas utama masyarakat yang sensitif. Karena sensitif adalah wilayah psikologis, sikap yang muncul dalam masyarakat pun sangat bervariasi. Dari bijak, reaktif sampai anarkis. Disaat perbedaan itu mencuat dipermukaan, pemimpin punya tanggungjawab menjadi hakim sekaligus problem solver. Menyelesaikan masalah dengan kacamata kemaslahatan ummat tanpa membiarkannya semakin meruncing.
Dalam budaya Aceh juga telah ada konsep rekonsiliasi yang diistilahkan dengan sulôh. Diderivasi dari bahasa Arab ash-sulhu atau ishlah yang bermakna berdamai. Konsep Suloh lahir dari tradisi Aceh yang sesuai dengan ajaran Islam sebagai proses rekonsialiasi perdamaian antara kedua belah pihak yang saling berseteru. Pada kasus yang terjadi di masyarakat gampong, proses perdamaian dilakukan secara musyawarah dengan menghadirkan aparatur gampong baik Geuchik, Imum Syiek, Tuha Peut, Tuha Lapan, Tuha Adat, hingga mukim sebagai mediator. Untuk kasus perselisihan terkait agama ditengah masyarakat Aceh, maka otoritas yang menjalankan suloh adalah pemerintah dan Ulama. Jika konteks saat ini mungkin terlibat didalamnya wali nanggroe, TNI, Polri dan segenap struktur pemerintahan di kabupaten hingga kecamatan.
Dalam hal ini, ulama menjadi figur sentral melakukan komunikasi, musyawarah dan klarifikasi untuk selanjutnya menentukan kebijakan agama berupa fatwa. Ketika mengeluarkan fatwa atau kebijakan, maka masyarakat diharuskan mengikuti dengan menjunjung tinggi otoritas ulama diatas lainnya. Jika melawan fatwa, akan dibawa ke pengadilan atau hukum negara. Jika proses mediasi berhasil yang menuai perdamaian, kedua belah pihak yang berseteru dilakukan prosesi diet (Diyat) membayar kerugian bisa berupa uang (peng lapek) kepada korban dengan menakar sesuai kesepakatan bersama secara adil. Selanjutnya kedua pihak dilakukan peusijuek diselembar kain terlentang, oleh Ulama atau Teungku seraya menapung tawar diatas kepala seluruh yang terlibat. Selanjutnya Tengku memanjatkan doa, dan diakhiri saling bersalam-salaman.
Metode ini masih terawat dalam adat masyarakat Aceh, terutama di kampung. Dalam menyelesaikan problem keagamaan pola ini sangat relevan dipraktikkan oleh pemerintah, karena berhasil meredam persoalan sepanjang sejarah.
*Penulis adalah Peneliti di Islamic Institute of Aceh.