SinarPost.com, Teheran – Amerika Serikat (AS) kembali menjatuhkan sanksi tambahan terhadap sektor perbankan Iran. Langkah itu dinilai sebagai upaya Washington melumpuhkan perekonomian Iran yang sedang melesu oleh pandemi corona.
Sanksi AS itu dijatuhkan setelah pemerintahan Trump gagal meyakinkan Dewan Keamanan PBB untuk menghidupkan kembali sanksi PBB terhadap Republik Iran. Kementerian Keuangan AS mengumumkan sanksi terbaru membidik 18 bank besar Iran.
Embargo tersebut berpotensi memutus akses kepada sistem transaksi internasional bagi 80 juta warga Iran. Washington menepis kritik Uni Eropa bahwa isolasi keuangan terhadap Iran akan memicu penderitaan yang tidak perlu.
“Sanksi kami diarahkan kepada rejim dan pejabat yang korup dan menyalahgunakan kemakmuran rakyat Iran untuk membiayai gerakan radikal dan revolusioner, yang menciptakan penderitan di seluruh Timur Tengah,” kata Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo.
Menurutnya kebijakan Iran memperkuat anggaran militer, ketika negara sedang membutuhkan fasilitas kesehatan.
“Tekanan ekonomi maksimal dari kami akan terus berlanjut sampai Iran bersedia melakukan negosiasi menyeluruh untuk menanggulangi perilaku jahat rezim di Teheran,” ujarnya, baru-baru ini.
Kemenkeu AS tidak merinci kejahatan yang dilakukan terhadap 18 institusi perbankan Iran tersebut, dan sebaliknya secara umum menuduh sektor keuangan Iran digunakan untuk membiayai program persenjataan pemerintah dan kebijakan regional.
Atas sanksi tersebut, Menlu Iran Mohammad Javad Zarif, menuduh AS berusaha “menghancurkan akses terakhir untuk membayar impor makanan dan obat-obatan” di tengah pandemi.
“Rakyat Iran akan selamat dari kekejaman terbaru ini. Tapi berkonspirasi untuk membuat populasi Iran kelaparan adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan,” tulisnya via Twitter. “Dalang dan mereka yang bertanggungjawab membekukan uang kami akan menghadapi pengadilan.”
Pemerintah AS bersikeras sanksinya membebaskan transaksi keuangan untuk alasan kemanusiaan, seperti pembelian bahan pangan atau obat-obatan. Namun Uni Eropa meyakini sanksi tersebut akan tetap memicu dampak dramatis.
Barbara Slavin dari lembaga pemikir luar negeri AS, Atlantic Council, menggambarkan sanksi AS terhadap perbankan Iran sebagai “sadisme berjubah politik luar negeri,” dan hanya akan memaksa Teheran semakin mendekat ke Cina.
Kemenkeu di Washington mengatakan sanksi baru itu akan berlaku dalam waktu 45 hari, untuk memberikan waktu bagi pelaku bisnis untuk menyudahi transaksi dengan Iran. Rentang waktu itu juga memberikan kesempatan bagi Partai Demokrat AS untuk mengubah kebijakan Trump menyusul Pemilu Kepresidenan, November mendatang.
Trump sebelumnya sudah lebih dulu mengembargo ekspor minyak dan bahan mentah dari Iran dan mengundurkan diri dari Perjanjian Nuklir yang memaksa Teheran menempatkan program nuklirnya di bawah pengawasan internasional.
Sebagai reaksi, Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, melakukan kunjungan ke China pada Jumat (9/10), untuk membahas sanksi AS. Kementeri Luar Negeri Cina menyatakan Javad Zarif datang atas undangan Menlu Wang Yi.
Selama ini China menjadi satu dari sedikit pintu bagi Teheran mengakses sistem pembayaran internasional. Pada 2010 silam, pemerintah di Beijing menunjuk Bank of Kunlun sebagai satu-satunya institut keuangan yang berwenang melakukan transaksi dengan Republik Islam tersebut.
Layanan itu sempat dihentikan pada 2018, diyakini atas tekanan Amerika Serikat. Namun pada pertengahan April 2019, Bank of Kunlun kembali melayani transaksi Iran, meski secara sporadis, bergantung pada sanksi ekonomi.
Sumber : DW.com