SinarPost.com, Jakarta – Rapat Paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985. Payung hukum baru ini akan memberlakukan satu tarif meterai, yakni Rp 10.000 per lembar menggantikan tarif yang berlaku saat ini yakni Rp 3.000 dan Rp 6.000. Tak hanya itu, batas minimum dokuman yang dikenakan bea meterai juga meningkat menjadi Rp 5 juta, baik untuk dokumen dalam bentuk kertas dan dokumen digital.
Membacakan hasil Pembahasan Tingkat II, Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto menyebut bahwa setidaknya terdapat 12 Bab dan 32 Pasal dalam payung hukum baru tersebut. Tercatat dari 9 Fraksi, hanya Fraksi PKS yang menolak adanya RUU Bea Meterai. Sebab, Fraksi PKS menilai kenaikan bea meterai berpotensi semakin melemahkan daya beli masyarakat dan menjadi beban baru bagi perekonomian, terutama saat ini kondisinya mengalami kelesuan akibat pandemi Covid-19.
“Komisi XI menetapkan pengambilan keputusan tingkat I dalam rapat kerja bersama Pemerintah yang telah dilaksanakan pada 3 September 2020. Berdasarkan pendapat akhir mini yang disampai Fraksi di DPR, sebanyak 8 Fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP menyetujui, sedangkan Fraksi PKS menolak hasil pembahasan tersebut,” kata Dito saat membacakan laporan di hadapan Rapat Paripurna, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9/2020) kemarin.
Usai mendengar laporan dari Pimpinan Komisi XI DPR RI, Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani selaku Pimpinan Rapat Paripurna menanyakan persetujuan pengesahan kepada 9 Fraksi DPR dan kepada seluruh Anggota Dewan yang hadir baik secara fisik maupun virtual. “Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Bea Meterai dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan yang kemudian Anggota DPR serentak menjawab “Setuju”.
Mewakili pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa Bea Meterai merupakan pajak atas dokumen yang dasar hukumnya belum pernah mengalami perubahan sejak 1 Januari 1986. Sementara selama 35 tahun, situasi di masyarakat telah banyak mengalami perubahan baik di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan teknologi informasi. Ini menyebabkan segala aturan yang ada, sudah tidak lagi bisa menjawab tantangan zaman.
“Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu untuk melakukan penggantian terhadap UU Bea Meterai dengan tetap memegang asas kesederhanaan, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. RUU Bea Meterai secara keseluruhan bertujuan antara lain untuk mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional, memberikan kepastian hukum, pengenaan secara lebih adil, menyelaraskan dengan aturan lainnya,” kata Menkeu.
Selain tarif baru dan batas minimum, RUU Bea Meterai juga memuat perluasan definisi dokumen objek bea meterai, tidak hanya dokumen kertas tetapi juga dokumen elektronik. Sri Mulyani menjelaskan pembayaran bea meterai dengan menggunakan meterai elektronik diberlakukan sesuai perkembangan teknologi dan memberikan perlakukan hukum yang sama bagi baik dokumen kertas dan non kertas.
Pengaturan mengenai sanksi, Pemerintah telah memasukkan norma dan sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana, dengan tujuan untuk meningkatan kepatuhan pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai. Sanksi akan mencegah terjadinya tindak pidana pembuatan, pengedaran, penjualan, dan pemalsuan materai palsu atau meterai bekas pakai.
“RUU yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2021 ini, masih ada cukup waktu untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan kebijakan baru tersebut. Persetujuan DPR RI merupakan dukungan nyata terhadap upaya peningkatan kemandirian bangsa melalui optimalisasi sumber pendapatan pajak, khususnya bea meterai,” tutup Sri Mulyani.