Oleh : Qathrul Mubarak, S.Ked*
Realita yang dialami dunia selama tahun 2020 ini memang sangat berat. Musibah demi musibah datang beruntun tanpa memberi jeda untuk sekedar menghela napas. Mulai dari kebakaran hutan, banjir, sampai kasus COVID 19 yang terus merajalela. Musibah paling masif yang kita rasakan tentunya adalah wabah COVID-19. Kasus COVID yang bermula dari beberapa orang di China kini telah menembus puluhan juta kasus. Di Indonesia, angka kemiskinan melonjak dari 9,41 persen menjadi 9,78 persen dan ratusan dokter berpulang menghadap Ilahi akibat COVI-19.
Sejak 2 Maret 2020 dimana COVID-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia, sudah banyak asumsi kapan wabah ini selesai. Ada yang mengatakan wabah akan selesai selama 2 minggu setelah masyarakat di rumah saja. Adapula yang mengatakan pada bulan Ramadhan, 29 Mei 2020, 10 Juni 2020, dan banyak lagi pendapat lain yang mengusung semangat optimisme serupa. Realitanya saat ini kita telah memasuki bulan September dan kasus di Indonesia malah semakin ganas.
Saat angka COVID-19 di Indonesia masih ratusan kita lihat mayoritas masyarakat sangat waspada dan jarang keluar rumah, justru saat kasus telah tembus angka ratusan ribu kewaspadaan kita menurun. Kita seolah menjadi korban harapan palsu asumsi kita sendiri, dimana sebelumnya kita optimis bahwa COVID-19 akan selesai pada 10 Juni atau waktu lain yang kita yakini. Inilah alasan mengapa kita perlu memahami Paradoks Stockdale.
Paradoks Stockdale adalah terminologi yang digunakan Jim Collins dalam bukunya ‘Good To Great’. Istilah itu terinspirasi dari kisah James Stockdale, seorang mantan Wakil Laksamana Angkatan Laut Amerika Serikat yang dikirim ke perang Vietnam. Beliau selama delapan tahun menjadi tahanan perang di Vietnam dan mendapat jatah siksaan yang begitu dahsyat. Namun pada akhirnya ia berhasil keluar dari tahanan dengan selamat. Keberhasilan Stockdale begitu luar biasa, mengingat periode itu adalah momen yang sangat sulit untuk menjaga asa bertahan hidup apalagi bisa lolos dari tahanan.
Beberapa poin penting dapat kita ambil dari wawancara Collins dengan Stockdale dalam buku Good To Great. Stockdale mengatakan bahwa ia dapat mengatasi kondisi mengerikan itu karena tidak pernah kehilangan keyakinan akan keluar dari tahanan dan pasti berakhir dengan kemenangan. Ada hal sangat menarik yang dituturkan Stockdale, dimana yang tidak berhasil dalam keadaan seperti itu adalah orang-orang optimis. Mereka adalah orang yang berkata “Kita akan keluar sebelum Natal”. Natal sudah berlalu namun mereka masih berstatus tahanan. Kemudian mereka optimis lagi “Kita akan keluar sebelum Paskah”. Paskah pun berlalu tapi mereka tetap dalam jeruji besi. Hal tersebut terus berlanjut sampai mereka yang dikatakan Stockdale sebagai orang-orang optimis tadi meninggal dalam kekecewaan.
Alasan mengapa Stockdale berhasil adalah karena dia mengkombinasikan realitas dan optimisme . Ia menghadapi realitas dengan berani dan tidak terkecoh oleh delusi. Stockdale paham bahwa ada hal yang dapat dikendalikan dan ada hal yang memang diluar kendali. Apa yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan sebaik mungkin segala hal yang berada dalam kendali kita. Maka tidak mengherankan jika Stockdale masih meluangkan waktu untuk berolahraga setiap hari, karena memang menjaga fisik ada dalam kendali dirinya.
Dari penjelasan diatas kita sudah mendapat gambaran cukup komprehensif dari Paradoks Stockdale. Untuk lebih mudah dipahami, Collins mendefinisikan Paradoks Stockdale dengan “Keyakinan bahwa pada akhirnya kita akan menang, terlepas dari apapun kesulitannya, dan pada saat yang sama, kita harus menghadapi fakta paling brutal dari realita kita saat ini, apa pun itu.” Paradoks ini cukup relevan apabila kita kaitkan dengan wabah COVID-19 yang sedang kita hadapi. Karena memang untuk bisa sukses menghadapi COVID-19 kita semua perlu memiliki mindset yang tepat.
Kita harus optimis bahwa pandemi ini pasti akan berakhir. Di saat yang sama kita juga harus siap menghadapi realita yang ada. Kita semua sudah faham bahwa kasus COVID-19 di Indonesia, khususnya di Aceh terus meningkat. Saat ini rangking kasus COVID di Indonesia tembus 10 besar Asia, ini tentunya bukan kabar yang menggembirakan. Setiap hari kasusnya semakin bertambah tanpa ada tanda-tanda akan mengalami penurunan. Penambahan kasus diiringi pula penambahan angka kematian. Belum lagi kondisi ekonomi yang semakin sulit. Itu semua adalah realita yang perlu kita hadapi.
Sejatinya kita cukup mengoptimalkan apa saja yang berada dalam kendali kita. Menjalankan protokol kesehatan COVID-19 adalah hal yang berada dalam kendali. Menggunakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan dengan sabun bukanlah perkara yang sulit untuk diterapkan. Kemudian kita perlu memikirkan cara untuk tetap produktif selama pandemi. Alhamdulillah dengan kemajuan teknologi yang ada, jarak bukan lagi menjadi halangan dalam menjalin komunikasi, baik untuk tujuan pendidikan maupun pekerjaan.
Menyaring informasi dari internet juga merupakan hal yang bisa kita kendalikan. Sangat marak hoax sekarang yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Bahkan karena hoax tersebut, sebagian masyarakat terpedaya fitnah yang mengatakan COVID-19 ini adalah proyek dokter untuk mendapatkan duit. Padahal tenaga medis kita terus berguguran karena jihad melawan Corona. Apabila kita mendapat suatu informasi, segera crosscheck kebenarannya. InsyaAllah dengan crosscheck berita dan berkonsultasi dengan pakar, kita semua dapat terhindar dari bahaya hoax.
Jangan kita buang energi untuk mengkhawatirkan hal-hal yang berada diluar kendali. Tidak ada urgensi bagi kita untuk selalu memikirkan kapan wabah ini berakhir. Alangkah lebih baik dalam hal-hal diluar kendali itu, kita bertawakal kepada Allah SWT. Mari kita berdo’a agar Allah SWT memberikan yang terbaik bagi kita dan mengangkat wabah ini dari muka bumi.
*Penulis merupakan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Sedang menyelesaikan Koas.